Di era digital seperti sekarang, informasi menyebar dengan sangat cepat. Sayangnya, bukan hanya informasi benar yang mudah tersebar berita palsu alias hoaks juga ikut membanjiri lini masa kita setiap hari. Padahal, berbagai kampanye edukasi telah digaungkan: mulai dari peringatan pemerintah, fitur pengecekan fakta di media sosial, hingga artikel-artikel tentang bahaya hoaks yang sudah tersebar di mana-mana. Tapi tetap saja, banyak orang masih dengan mudahnya percaya dan membagikan berita tanpa sumber yang jelas. Mengapa hal ini terus terjadi?
Confirmation Bias: Mempercayai Apa yang Ingin Kita Percaya
Salah satu penjelasan psikologis yang kuat datang dari teori "confirmation bias". Teori ini menjelaskan bahwa manusia cenderung lebih mudah menerima informasi yang mendukung keyakinan atau prasangka yang sudah mereka miliki sebelumnya, dan menolak informasi yang bertentangan.
Contohnya, jika seseorang sudah punya prasangka bahwa vaksin itu berbahaya, maka ia cenderung lebih cepat percaya berita yang memperkuat keyakinan tersebut—meskipun itu hoaks. Ini bukan soal logika, tapi soal kenyamanan mental. Menerima informasi yang "selaras" membuat seseorang merasa benar dan tidak sendirian.
Spiral of Silence: Takut Berbeda, Akhirnya Ikut Mayoritas
Ada pula faktor sosial yang berperan. Dalam teori Spiral of Silence, dikatakan bahwa individu cenderung mengikuti opini mayoritas demi menjaga rasa aman secara sosial. Ketika merasa suara mereka adalah minoritas, banyak orang lebih memilih diam atau ikut arus ketimbang menyuarakan pendapat berbeda.
Baca Juga : Digital Detox: Solusi Tetap Waras di Tengah Masifnya Konten Media Sosial
Nah, dalam konteks hoaks, jika sebagian besar teman di grup WhatsApp atau media sosial mempercayai suatu informasi, maka akan sulit bagi seseorang untuk membantahnya bahkan jika ia ragu. Takut dianggap sok pintar atau dikucilkan, akhirnya orang-orang ikut menyebarkan atau setidaknya mengiyakan informasi itu. Hoaks pun menyebar, bukan karena semua percaya, tapi karena sedikit yang berani membantah.
Jadi, Kenapa Hoaks Terus Dipercaya?
Dari dua teori tadi, kita bisa melihat bahwa penerimaan hoaks bukan hanya soal kurangnya literasi digital, tapi juga soal psikologi dan dinamika sosial. Masyarakat cenderung:
- Mencari validasi terhadap opini yang sudah ada dalam pikirannya (confirmation bias),
Baca Juga : Langkah Praktis Memulai Bisnis Online untuk Toko Kelontong
- Takut berbeda dari kelompoknya (spiral of silence).
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
1. Sadari bahwa kebenaran tidak selalu nyaman. Jika sebuah berita membuat kita terlalu emosional atau merasa sangat setuju, itu justru saatnya kita harus berhenti dan memeriksa ulang.
2. Berani berbeda. Tidak semua opini mayoritas benar. Sampaikan pendapat dengan santun, tapi tetap kritis.
Baca Juga : Peran Media Sosial dalam Aktivisme Mahasiswa Modern: Antara Peluang dan Tantangan
3. Periksa sumber informasi. Jangan asal sebar. Cek fakta sebelum klik "bagikan". (*)
Baca Juga : Viral di Media Sosial, Truk Berkendara Zig-zag di Jalan Nasional Lumajang
Editor : M Fakhrurrozi