SURABAYA - Karya sastra pasti memiliki daya tarik sendiri hingga mampu membangkitkan perasaan kegembiraan, kesedihan, kemarahan atau bahkan ketakutan bagi pembacanya.
Pada 5 Maret 2003 di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, berdiri sebuah komunitas bernama Rabo Sore. Komunitas ini menjadi wadah untuk berdiskusi dan melakukan kegitan-kegiatan sastra mulai dari menulis puisi, cerpen, juga novel.
Komunitas yang digagas Didik Wahyudi, Alek Subairi, dan kawan-kawan ini dilatar belakangi oleh keprihatinan akan minimnya perkumpulan yang bergerak dalam dunia sastra. Nama Rabo Sore pun bukan diberikan begitu saja tanpa ada filosofi di baliknya.
Huruf “o” pada kata “Rabo” sengaja dipilih untuk memberi kesan pada pengucapan lokal. Sehingga nilai-nilai lokal akan menjadi pijakan yang tetap hadir secara alami dalam komunitas ini.
"Sebagai komunitas, Rabo Sore merupakan sebuah nama yang tidak terlalu romantis, tidak patriotis, juga tidak mengesankan sesuatu perkumpulan yang formal, tetapi terasa pas dan hangat untuk diucapkan," ujar Nining Tri Ratna yang merupakan anggota komunitas Rabo Sore.
Rabo Sore juga memiliki kegiatan rutin setiap dua minggu sekali untuk menggelar diskusi dan juga kepenulisan karya. Tak hanya itu, dua tahun terakhir komunitas ini menggelar program festival buku "sruntulisme" yang mana dalam kegiatan tersebut akan diselipkan sesi diskusi yang membahas topik sastra.
Komunitas yang telah berdiri sekitar 20 tahun ini juga kerap diundang sebagai penampil untuk teatrikal puisi di acara-acara komunitas sastra/seni Surabaya-Sidoarjo. Tak tanggung-tanggung komunitas Rabo Sore juga mendapatkan Penghargaan Sutasoma dari balai bahasa Jawa Timur sebagai komunitas sastra yang berpengaruh di Jawa Timur pada tahun 2018.
Usaha komuniyas Rabo Sore untuk meraih kesuksesan tidak selalu berjalan mulus. Tantangan utama yang sering kali dihadapi yakni komitmen para anggota yang mulanya gigih dalam menjalani proses, tiba-tiba memudar begitu saja.
"Tentu terdapat banyak tantangan yang kami alami, dari luar maupun intern komunitas. Tapi yang paling sering terjadi adalah guncangan dari dalam, yakni beberapa nama yang semula gigih dan aktif berproses di komunitas tiba-tiba menyusut. Hal ini telah kami sadari sebagai bentuk seleksi alam," jelas mahasiswi yang tengah menempuh pendidikan S1 di Universitas Negeri Surabaya. (Ervina Putri Dwi Magfiroh)
Editor : A.M Azany