Setiap kali Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) digelar, salah satu elemen yang paling menonjol dari kampanye politik adalah jargon atau slogan yang diusung oleh pasangan calon (paslon).
Jargon ini biasanya dirancang agar terdengar sederhana, menarik, dan mudah diingat oleh masyarakat luas.
Di berbagai daerah, paslon berlomba-lomba menciptakan slogan yang memikat hati pemilih, mencoba merangkum visi dan misi mereka dalam beberapa kata.
Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah jargon-jargon ini benar-benar mencerminkan gagasan nyata dan rencana konkret, atau sekadar retorika untuk mengumpulkan suara semata?
Baca Juga : Desak Bawaslu Jember Bertindak Tegas, Massa AMP2L Geruduk Kantor hingga Robohkan Gerbang
Jargon: Antara Simbol dan Janji
Secara ideal, jargon politik berfungsi sebagai simbol dari gagasan besar yang ditawarkan oleh paslon.
Misalnya, jargon seperti “Bersama Membangun Daerah” mengisyaratkan ajakan untuk membangun daerah secara kolektif.
Baca Juga : Bawaslu Tulungagung Ajak Pemilih Pemula Kenali Bahaya Misinformasi di Pilkada 2024
Jargon yang baik dapat menyederhanakan ide kompleks dan menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk mendukung paslon tersebut.
Namun, tidak jarang jargon justru menjadi alat kampanye yang dangkal, tanpa dasar program atau kebijakan yang jelas.
Jargon yang terdengar indah di permukaan sering kali tidak dibarengi dengan langkah konkret bagaimana visi tersebut akan diwujudkan.
Baca Juga : Paslon Wali Usung Semangat Kemenangan Prabowo Gibran
Dalam banyak kasus, ini menimbulkan skeptisisme di kalangan pemilih, yang merasa bahwa jargon hanya digunakan untuk mengamankan suara tanpa menawarkan solusi nyata.
Ekspektasi Publik vs Realitas Politik
Masyarakat menginginkan pemimpin yang dapat mewujudkan janji-janji yang diusung dalam kampanye.
Baca Juga : KPU Jatim Tegaskan Kampanye Akbar Setiap Paslon di Pilgub Jatim Hanya Dua Kali
Jargon yang menarik semestinya merupakan cerminan dari program nyata yang akan dilaksanakan setelah paslon terpilih.
Namun, sejarah politik di berbagai daerah menunjukkan bahwa tidak sedikit paslon yang gagal mengimplementasikan gagasan besar yang mereka janjikan.
Di sisi lain, jargon juga sering kali digunakan untuk menyembunyikan kelemahan dalam program kerja.
Baca Juga : Gunawan Umar Daftar KPU Kab Malang
Janji-janji manis yang dikemas dalam slogan bombastis kerap kali memikat pemilih, tetapi kenyataannya sulit diwujudkan karena tidak adanya perencanaan yang matang.
Pemilih harus waspada terhadap jargon yang hanya menjadi alat untuk memenangkan suara tanpa komitmen yang jelas terhadap perubahan nyata.
Dengan meningkatnya akses terhadap informasi, pemilih kini semakin cerdas dan kritis.
Mereka tidak hanya terpikat oleh kata-kata manis atau slogan menarik, melainkan juga menuntut kejelasan dan transparansi mengenai program-program yang akan dijalankan.
Paslon yang sukses bukan hanya yang mampu menciptakan jargon yang mengesankan, tetapi juga dapat menunjukkan rencana konkret di balik kata-kata tersebut.
Lebih dari sekadar kata-kata, jargon politik seharusnya menjadi janji yang bisa dipegang oleh masyarakat.
Ketika paslon terpilih, mereka harus bertanggung jawab terhadap jargon yang telah mereka usung. Di sinilah pentingnya akuntabilitas.
Masyarakat harus terus mengawasi apakah janji-janji yang diucapkan selama kampanye benar-benar diwujudkan dalam kebijakan publik yang nyata.
Jargon yang baik bukanlah sekadar alat kampanye, melainkan komitmen kepada pemilih.
Oleh karena itu, pemilih harus aktif mengingatkan para pemimpin terpilih akan janji-janji mereka, dan memastikan bahwa jargon yang dulu mereka dengar selama masa kampanye tidak hanya berakhir sebagai slogan kosong.
Jargon politik dapat menjadi alat yang efektif dalam membangun citra dan mendekatkan paslon dengan masyarakat.
Namun, tanpa disertai program kerja yang jelas dan implementasi yang terukur, jargon hanya akan menjadi retorika yang hampa.
Dalam Pilkada di berbagai daerah, pemilih harus lebih kritis dalam menilai apakah jargon yang diusung paslon mencerminkan gagasan nyata atau sekadar retorika untuk memenangkan suara.
Pada akhirnya, kualitas kepemimpinan tidak diukur dari seberapa menarik jargon yang diusung, tetapi dari sejauh mana paslon tersebut mampu mengubah kata-kata menjadi tindakan nyata yang memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.
*) Asa Nur Kinanti, mahasiswi Unair yang lagi pusing ngerjain skripsi. spesialis makan nggak habis. Nggak bisa fokus lama, tapi selalu bisa nemu hal menarik dari yang sederhana. Keahlian lainnya masih dalam pengembangan
**) Penulis adalah salah satu peserta Magang JTV Digital periode September–Desember 2024
Editor : Khasan Rochmad