JAKARTA - “Jika anda menonton film ini, saya punya pesan sederhana. Satu, tolong jadikan film ini sebagai landasan bagi anda untuk melakukan penghukuman,”.
Kalimat tersebut diucapkan ahli hukum tatanegara Zainal Airifin Mochtar dalam pembuka film ini. Zainal, bersama dua pakar hukum tatanegara lain, yakni Bivitri Susanti, dan Feri Amsari, secara gamblang mengungkap kecurangan Pemilu 2024 dalam film dokumenter eksplanatori berjudul Dirty Vote.
Film tersebut bisa diakses lewat channel YouTube Dirty Vote sejak hari pertama masa tenang Pemilu, yakni Minggu, 11 Februari 2024 pukul 11.11. Penghukuman yang dimaksud Zainal tentu saja adalah pencoblosan yang akan dihelat pada 14 Februari 2024.
"Saya mau terlibat dalam film ini karena banyak orang yang akan makin paham bahwa memang telah terjadi kecurangan yang luar biasa sehingga Pemilu ini tidak bisa dianggap baik-baik saja," tambah Bivitri.
Sedangkan Feri Amsari berharap film ini bisa mendidik publik. “Selain diajak oleh figur-figur yang saya hormati, tentu saja film ini dianggap akan mampu mendidik publik betapa curangnya Pemilu kita dan bagaimana politisi telah mempermainkan publik pemilih hanya untuk memenangkan kepentingan mereka,” kata Feri.
Berdurasi 1 jam, 57 menit, dan 21 detik, film ini mencoba mengungkap data fatka tentang bagaimana desain kecurangan pemilu dijalankan. Dirty Vote disutradarai Dandhy Dwi Laksono. Bagi Dandhy, ini adalah film keempat terkait dengan Pemilu yang dia sutradarai.
Pada 2014, lewat rumah produksi WatchDoc, Dandhy meluncurkan Ketujuh, sebuah cerita tentang Joko Widodo yang ketika itu dielu-elukan mejadi sosok harapan baru. Pada 2017, menjelang Pilkada DKI Jakarta, Dandhy menyutradarai Jakarta Unfair. Sedangkan pada Pemilu 2019, Dandhy menyutradarai Sexy Killers, cerita tentang jaringan oligarki pada kedua capres-cawapres ketika itu, yang ditonton lebih dari 20 juta pada masa tenang.
Menurut Dandhy, Dirty Vote merupakan tontonan reflektif di masa tenang pemilu. Dia berharap film tersebut akan mengedukasi publik. "Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tapi, hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) sekaligus produser film ini, Joni Aswira, mengatakan bahwa Dirty Vote sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil. Biaya produksi dihimpun melalui crowdfunding, sumbangan individu, dan lembaga. “Biayanya patungan,” ujarnya.
Dirty Vote digarap dalam waktu cukup pendek, yakni dua pekan. Sebanyak 20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film tersebut adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Dalam penutup film ini, Feri Amsari mengatakan bahwa sebagian besar rencana kecurangan yang terstruktur sistematis dan masif untuk mengakali Pemilu ini sebenarnya disusun bersama dengan pihak-pihak lain. “Mereka adalah kekuatan yang selama sepuluh tahun terakhir berkuasa bersama,” kata Feri.
Sedangkan Zainal menyinggung pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan. “Persaingan politik dan perebutan kekuasaan, desain kecurangan yang sudah disusun bareng-bareng ini akhirnya jatuh ke tangan satu pihak yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan di mana ia dapat menggerakkan aparatur dan anggaran," tuturnya.
Bagi Bivitri, kecurangan Pemilu yang diungkap dalam film ini sebenarnya bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Menurut dia, skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah. ”Karena itu untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua mental: culas dan tahan malu,” ujar Bivitri. (sof)
Editor : Sofyan Hendra