SURABAYA - Ditengah libur Panjang sekolah anak anak kita, Ada satu pertanyaan sederhana yang jarang kita ajukan secara jujur: untuk siapa nilai rapor sekolah dasar sebenarnya dibuat? Untuk anak, atau untuk orang dewasa yang ingin kepastian instan? Jika kita jujur, nilai angka di rapor SD (sekolah dasar) lebih sering berfungsi sebagai alat pembanding antar-anak, antar-sekolah, bahkan antar-orang tua daripada sebagai cermin perkembangan belajar anak itu sendiri.
Sekolah dasar bukan arena kompetisi, melainkan ruang tumbuh. Pada fase ini, anak sedang belajar mengenali dirinya, dunianya, dan cara berpikirnya. Namun nilai kuantitatif telah memaksa anak masuk terlalu dini ke logika ranking: siapa pintar, siapa tertinggal. Padahal, perkembangan anak tidak pernah linier dan tidak pernah seragam. Angka, dengan sifatnya yang kaku, gagal menangkap kenyataan itu.
Lebih berbahaya lagi, angka mengubah orientasi belajar. Anak tidak lagi bertanya, “Apa yang kupelajari hari ini?” tetapi “Dapat nilai berapa?” Dari sini, pendidikan kehilangan ruhnya. Belajar berubah menjadi transaksi: aku belajar jika ada angka sebagai imbalan. Rasa ingin tahu modal utama kecerdasan perlahan mati, berganti dengan ego dan kebanggan semu orang tua atas kegagalannya dahulu membuat legacy
Dalam kerangka Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang dirumuskan Tan Malaka, pendidikan seharusnya melatih manusia berpikir berdasarkan proses, relasi sebab-akibat, dan realitas konkret. Madilog menolak cara berpikir instan dan simbolik yang memutus logika dari kenyataan. Nilai angka di rapor SD justru melakukan sebaliknya: menyederhanakan proses belajar yang kompleks menjadi simbol tunggal bernama skor.
Angka 78 atau huruf A tidak menjelaskan apa yang anak pahami, bagaimana ia sampai pada kesalahan, atau potensi apa yang sedang tumbuh. Ia hanya angka mati, final, dan sering disalahartikan sebagai kebenaran mutlak. Dalam logika Madilog, ini adalah bentuk reduksionisme berpikir yang berbahaya: realitas manusia diperas menjadi satu simbol kosong.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara bahkan jauh lebih tegas. Pendidikan, menurut beliau, adalah proses menuntun, bukan menilai untuk menghakimi. Anak adalah subjek yang sedang bertumbuh, bukan objek yang harus diberi label. Prinsip Tut Wuri Handayani menempatkan guru sebagai pendamping, bukan algojo akademik yang memutuskan nasib anak lewat angka.
Ki Hajar memahami bahwa setiap anak memiliki irama tumbuh yang berbeda. Ada yang cepat memahami hitungan, ada yang unggul dalam bercerita, ada yang menonjol dalam empati dan kepemimpinan. Ketika rapor dipenuhi angka, keberagaman kodrat ini diratakan. Yang tidak sesuai standar angka dianggap “kurang”, padahal mungkin ia hanya berbeda.
Di sinilah kita perlu berani berkata tegas: nilai kuantitatif di rapor SD lebih banyak mudarat daripada manfaat. Ia menciptakan kecemasan, kompetisi prematur, dan label psikologis yang sering terbawa hingga dewasa. Banyak orang Orang tua hari ini masih membawa luka “aku dulu anak nilai rendah”, padahal tak pernah ada yang benar-benar menjelaskan potensi mereka.
Bukan berarti sekolah dasar anti-penilaian. Justru sebaliknya, penilaian harus diperkuat tetapi dalam bentuk narasi kualitatif yang jujur dan mendalam. Catatan guru tentang cara anak berpikir, keberanian mencoba, kemampuan bekerja sama, dan perkembangan emosional jauh lebih bernilai bagi masa depan anak daripada deretan angka, tentunya Guru juga dituntut memberi laporan kualitatif yang bersifat personal bukan copas
Rapor seharusnya menjadi surat dialog antara sekolah dan orang tua, bukan papan skor. Dengan narasi, orang tua diajak memahami anaknya; dengan angka, orang tua sering tergoda membandingkan. Pendidikan pun bergeser dari proses memanusiakan menjadi proses mengklasifikasi.
Jika kita sungguh ingin membangun generasi yang berpikir logis (Madilog), berkarakter merdeka (Ki Hajar Dewantara), dan berani menjadi diri sendiri, maka langkah pertama yang perlu kita ambil sangat sederhana: hentikan angka di rapor sekolah dasar.
Mungkin kita akan kehilangan kepastian semu. Tetapi kita akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga: anak-anak yang belajar dengan makna, bukan dengan ketakutan dan orang tua menjadi orang yang paling jujur untuk melihat potensi anak.
Penulis: Ali Yusa, Dewan Pendidikan Jawa Timur
Editor : M Fakhrurrozi




















