Di balik kampanye megah dan janji-janji manis calon kepala daerah, ada satu hal penting yang sering luput dari perhatian: etika politik. Bukan hanya program atau pencitraan, integritas dan cara mereka memperlakukan lawan politik serta masyarakat jauh lebih penting. Terlebih bagi kita, Gen Z, yang menuntut keadilan sosial dan transparansi.
Ketika membahas calon kepala daerah dalam Pilkada, sering kali perhatian kita terpusat pada program atau pencitraan. Namun, ada hal yang jauh lebih mendesak yang jarang disoroti, yaitu etika politik. Di balik penampilan rapi dan kampanye yang megah, bagaimana sebenarnya integritas calon? Bagaimana cara mereka memperlakukan lawan politik, dan apakah mereka mendekati masyarakat tanpa manipulasi?
Sebagai pemilih, khususnya kami dari kalangan Gen Z yang akrab dengan nilai-nilai keadilan sosial, penting bagi kita untuk menggali lebih dalam. Bukan hanya sekadar mendengar apa yang diucapkan di podium, tetapi juga bagaimana mereka bertindak di belakang layar. Etika politik menjadi landasan untuk menilai apakah seorang calon benar-benar layak memimpin daerahnya.
Dalam kompetisi Pilkada, sering kita temui praktik-praktik politik yang penuh manipulasi. Politik uang, eksploitasi isu agama atau suku, hingga penggunaan buzzer untuk menyebarkan kebohongan menjadi cerminan rendahnya etika sebagian calon. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga penghinaan terhadap kecerdasan masyarakat. Calon yang menggunakan taktik seperti ini sudah menunjukkan ketidakpantasannya sejak awal.
Baca Juga : Generasi Muda Lelah dengan Janji Kosong, Ingin Aksi Nyata di Pilkada
Kita, Gen Z, yang sering dianggap alay dan keras kepala, justru merupakan generasi yang paling melek informasi. Kita harus menjadi pengawas utama dalam melawan perilaku-perilaku ini. Jangan diam saat kampanye mencoba memecah belah masyarakat atau menggunakan hoaks untuk menjatuhkan lawan. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu bersaing secara sehat, berbicara berdasarkan data, dan menghormati perbedaan pandangan.
Selain itu, cara seorang calon memperlakukan lawan politik juga merupakan indikator penting etika mereka. Politik bukan hanya soal menang atau kalah, tapi tentang menjaga martabat dalam menghadapi perbedaan. Apakah calon tersebut menghormati lawan atau justru menyerang secara pribadi? Jika dalam kampanye mereka tidak mampu berdialog dengan baik, bagaimana kita bisa berharap mereka memimpin dengan bijaksana saat berkuasa?
Etika politik juga tercermin dari hubungan mereka dengan masyarakat. Pemimpin yang beretika tidak hanya hadir saat membutuhkan suara, tetapi konsisten dalam mendengarkan, berdialog, dan menyelesaikan masalah. Kita membutuhkan pemimpin yang melihat masyarakat sebagai mitra pembangunan, bukan hanya sekadar target suara.
Baca Juga : Pilkada 2024: Penyandang Disabilitas di Persimpangan Omong Kosong dan Kotak Kosong
Gen Z memiliki peran penting dalam memastikan etika politik menjadi bagian utama dalam diskusi Pilkada. Dengan menekankan isu ini, kita bisa membantu menciptakan kultur politik yang lebih sehat dan berkelanjutan. Sebab, lebih dari sekadar janji atau program, yang paling kita butuhkan adalah pemimpin yang menjunjung tinggi etika dalam setiap tindakan mereka. (*)
*) Akbar Giri, mahasiswa Unair yang hobi ngamatin manusia dan budaya, kayak nonton film tanpa popcorn. Nggak bisa nyelametin dunia, tapi bisa ngerti kenapa kita rumit!
Baca Juga : Saatnya Memilih Pemimpin Berintegritas untuk Masa Depan Jawa Timur
**) Penulis adalah salah satu peserta magang JTV Digital periode Agustus-Desember 2024.
Editor : Iwan Iwe