Pilkada serentak 2024 semakin mendekat, dan sekali lagi kita dihadapkan pada drama politik yang tidak hanya mengundang tawa, tetapi juga keprihatinan: "calon tunggal melawan kotak kosong." Di sinilah penyandang disabilitas berada di persimpangan yang lebih membingungkan daripada sekadar memilih. Kita dihadapkan pada pilihan antara janji-janji kosong yang terdengar manis atau kotak kosong yang tidak menawarkan harapan sama sekali. Seakan-akan, keberadaan kita hanya menjadi pengisi ruang dalam sandiwara politik yang terus berulang.
Menurut data KPU RI, terdapat 41 daerah yang akan menggelar Pilkada antara pasangan calon tunggal melawan kotak kosong. Di Jawa Timur, KPU Jatim memastikan bahwa lima daerah akan menggelar Pilkada dengan format ini, yaitu Kota Surabaya, Kota Pasuruan, Kabupaten Gresik, Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Ngawi. Para calon kepala daerah seolah berlomba-lomba melontarkan retorika di panggung politik.
Mereka berdiri dengan penuh semangat, berjanji akan mengarusutamakan isu disabilitas, tetapi di balik kata-kata mereka, langkah konkret untuk aksesibilitas bagi penyandang disabilitas masih jauh dari kenyataan. “Kami peduli pada disabilitas!” teriak mereka, sementara kursi roda masih terjebak di jalan yang tak ramah, penyandang disabilitas netra tersesat di trotoar yang menyesatkan, siswa disabilitas tertolak oleh sistem PPDB, dan angka kemiskinan keluarga disabilitas semakin meroket. Pertanyaannya, seberapa banyak dari mereka yang benar-benar memahami realitas yang kami hadapi? Atau ini semua hanya bagian dari skrip untuk menarik suara kami?
Kotak kosong, di sisi lain, tampak seperti simbol protes dan matinya demokrasi. Namun, mari jujur: siapa yang percaya kotak kosong bisa membawa perubahan? Mengapa kita harus memilih antara dua pilihan yang sama-sama tidak menjanjikan apapun? Memilih kotak kosong sama saja dengan menghapus suara kita dari proses yang seharusnya inklusif. Di tengah pilihan ini, kita seolah hanya menjadi penonton dalam drama politik yang ditulis oleh mereka yang tak memahami perjuangan kita.
Baca Juga : Generasi Muda Lelah dengan Janji Kosong, Ingin Aksi Nyata di Pilkada
Yang kita butuhkan adalah calon pemimpin yang bukan hanya mengisi kursi, tetapi juga mengisi jiwa kita dengan harapan. Kita tidak bisa terus-menerus menunggu pahlawan yang datang dari langit untuk menyelamatkan kita. Kita harus menekan partai-partai politik untuk memberi ruang yang lebih besar bagi penyandang disabilitas di panggung politik. Tanyakan kepada mereka: langkah konkret apa yang akan diambil untuk memastikan aksesibilitas, inklusi, dan perlindungan hak-hak kita?
Jadi, mari satukan suara. Kita harus berbicara dengan lantang dan jelas: kita tidak akan menjadi alat permainan politik mereka. Kita adalah kekuatan yang harus diakui, bukan objek dalam narasi semu. Mari gunakan Pilkada 2024 sebagai momen untuk menunjukkan bahwa penyandang disabilitas tidak hanya berada di pinggiran, tetapi memiliki hak dan suara yang sah dalam menentukan masa depan kita. Kita tidak akan memilih antara omong kosong dan kotak kosong; kita akan memilih untuk berjuang, menuntut keadilan, dan memperjuangkan hak-hak kita. Saatnya bertindak, karena suara kita adalah kunci untuk membuka pintu perubahan yang nyata. (*)
Baca Juga : Pilkada 2024: Penyandang Disabilitas di Persimpangan Omong Kosong dan Kotak Kosong
*) Abdul Majid, Ketua LSM LIRA Disability Care (LDC), Mahasiswa Program Magister Kebijakan Publik Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya
Baca Juga : Saatnya Memilih Pemimpin Berintegritas untuk Masa Depan Jawa Timur
Editor : Iwan Iwe