Apa yang terlintas dibenak anda bila mendengar kata KUA? Saya yakin mayoritas dari anda akan menjawab tempat pencatatan nikah, karena itu dalam obrolan sehari-hari kadang-kadang KUA diplesetkan sebagai Kantor Urusan Asmara. Persepsi itu tidak sepenuhnya salah karena berdasarkan sejarah KUA pertama kali dibentuk memang secara spesifik menangani pernikahan.
Bahkan KUA sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1943 ketika Jepang menguasai Indonesia membentuk Kantor Shumubu (KUA) di Jakarta. Pada waktu itu yang ditunjukan sebagai Kepala Shumubu untuk wilayah Jawa dan Madura adalah KH. Hasyim Asy’ari pendiri PondokPesantren Tebuireng Jombang dan pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Sedangkan untuk pelaksanaan tugasnya, KH. Hasyim Asy’ari menyerahkan kepada putranya K. Wahid Hasyim sampai akhir pendudukan Jepang pada bulan Agustus 1945.
Namun pada pertkembangannya, fungsi dan tugas KUA bukan lagi terkait pencatatan pernikahan, tapi lebih dari itu ada fungsi-fungsi lain terkait pelayanan dan bimbingan keagamaan yan lain, seperti bimbingan keluarga sakinah, pelayanan bimbingan kemasjidan, bimbingan hisab rukyat dan pembinaan syariah, bimbingan dan penerangan Agama Islam, bimbingan zakat dan wakaf, dan lain-lain.
KUA secara tegas bermetamorfosa menjadi etalase layanan Kementerian Agama, sekaligus sebagai pusat pelayanan keagamaan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena KUA menjadi unit kerja di Kementerian Agama yang paling dekat dengan publik, Menurut data Kementerian Agama tahun 2022 jumlah KUA sebesar 5913 KUA yang tersebar di berbagai kecamatan di seluruh penjuru Indonesia. KUA menjadi unit pelayanan terdepan Kementerian Agama.
Melihat potensi besar KUA tersebut maka sangat masuk akal bila Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas sejak tahun 2021 menjadikan Revitalisasi KUA sebagai program prioritas Kementerian Agama. Tercatat udah 1106 KUA yang sudah di revitalisasi sampai 2023 dan akan terus bertambah. Kebijakan Revitalisasi KUA ini menyangkut tiga hal, yaitu sarana dan prasana, standard layanan, dan penguatan sumber daya manusia.
Hasil kebijakan revitalisasi KUA mulai menunjukkan hasilnya. Hal ini setidaknya tercermin dari hasil survei IKM KUA yang dilakukan oleh Balitbang Kementerian Agama tahun 2022 dan 2023. Indeks Kepuasan Layanan KUA di Indonesia pada 2022 ini berada pada angka 83,28 persen, angka ini lebih tinggi dibanding target yang ditetapkan, 82,0 persen, dan dapat dipertahankan indeks kepuasan layanan KUA tahun 2023 sebesar 82,69 persen.
Melihat perkembangan layanan KUA yang semakin baik ini bisa menjadi titik tolak untuk semakin memperluas diversifikasi layanan keagamaan kepada publik. Layanan KUA diharapkan mampu menjangkau semua kebutuhan umat beragama tanpa melihat latar belakang agama dan golongan.
Cita-cita untuk menjadikan KUA sebagai pusat layanan keagamaan (tidak hanya untuk islam) menjadi sangat relevan bila melihat postur sebaran agama secara geografis di Indonesia. Memang secara agama, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tapi bila melihat dalam maka akan terlihat beberapa provinsi penduduk mayoritasnya bukan islam, seperti Bali, NTT, Sulut, Maluku, dan Papua. Alasan kedua adalah KUA-lah yang memiliki coverage yang paling luas dan terdepan mampu menjangkau seluruh pelosok negeri. Dengan demikian KUA-lah yang paling siap dalam memberikan pelayanan keagamaan kepada publik.
Apalagi kalau melihat prinsip pelayanan publik yang harus menjangkau semua, Pasal 4 UU Pelayanan Publik telah mencantumkan asas-asas pelayanan publik, salah satunya persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Semua warga negara berhak atas pelayanan keagamaan yang setara.
Pelayanan inklusif KUA adalah jawaban atas fungsi dan tugas Kementerian Agama yang melayani semua umat beragama, ini juga bisa menjadi cara untuk semakin mendekatkan layanan keagamaan kepada publik sehingga publik semakin mudah dalam mengakses layanan keagamaan. Dengan demikian kebijakan revitalisasi KUA dampaknya akan semakin dirasakan oleh publik. (*)
*) Hasanuddin Ali, CEO Alvara Research Center
Editor : Iwan Iwe