Di sebuah kampung di Malang, sebuah jalan kecil yang dulu dimaksudkan sebagai sedekah untuk publik tiba-tiba berubah menjadi panggung besar. Jalan itu, tanah wakaf milik seorang dosen dan kiai yang akrab dipanggil Yai Mim, menjadi arena konflik dengan seorang perempuan bernama Sahara, tetangganya sendiri, pengusaha kecil yang punya bisnis rental mobil. Perselisihan yang mula-mula bersifat tetangga, sepele dan privat, mendadak meledak menjadi drama publik. Bukan karena pengadilan sudah memutus, bukan karena bukti sudah terang, melainkan karena video-video viral yang beredar di layar ponsel kita.
Beginilah zaman kita hari ini, sebuah adegan berguling di tanah bisa lebih kuat pengaruhnya ketimbang selembar sertifikat wakaf. Sebuah caption singkat bisa merontokkan reputasi panjang seorang pengajar yang puluhan tahun menulis, meneliti, dan mengajar mahasiswa. Seorang perempuan yang lihai bermain media sosial bisa seketika memperoleh simpati publik, bahkan sebelum aparat atau hakim mengucapkan sepatah kata pun. Kebenaran, yang dulu diupayakan dengan sabar melalui proses hukum, saksi, dan verifikasi, kini seolah tak punya rumah. Ia terseret, diremuk, kemudian dibangun ulang oleh opini publik yang labil dan cepat berubah.Di sinilah wajah post-truth kita terlihat.
Ketika istilah post-truth menjadi kosakata politik dunia beberapa tahun lalu, banyak yang menyangka itu hanya relevan di ruang politik global. Dimulai ketika sepak terjang Donald Trump, referendum Brexit, atau hoaks vaksin Covid. Nyatanya, post-truth adalah kenyataan sehari-hari kita. Ia bukan hanya soal politik, tetapi soal kehidupan sosial yang paling sederhana, dari dasar sebuah akar sosial, perseteruan tetangga, pertengkaran keluarga, atau urusan tanah wakaf.
Yang terjadi dalam kasus Yai Mim vs Sahara adalah gejala khasnya. Munculnya fakta tak lagi utama, emosi yang menentukan. Publik lebih cepat percaya pada video pendek bergaya sinetron daripada pada arsip tanah wakaf yang berdebu di lemari kelurahan. Lebih tergerak oleh tangisan seorang perempuan yang merasa terzalimi daripada penjelasan panjang seorang akademisi yang terbata-bata membela diri. Narasi menjadi lebih penting daripada bukti.
Ironisnya, narasi itu sering kali bukan dibangun dari kebenaran, melainkan dari kepiawaian memainkan emosi. Dalam kasus ini, publik mula-mula melihat Yai Mim sebagai “kiai” yang dipermalukan. Sebuah video yang menuduhnya cabul atau pura-pura sakit tersebar, dan segera saja publik beramai-ramai menunjuk dan merujuk menjadi bukti kepuasan mereka. Tak seorang pun bertanya apakah video itu utuh, apakah konteksnya jelas, atau siapa yang pertama kali mengunggah.
Masyarakat digital adalah masyarakat yang lapar akan drama. Kita tak hanya mengonsumsi kabar, tapi juga menghendaki plot twist, kejutan, bahkan tragedi. Maka publik pun bergeser. Ketika bukti baru muncul bahwa tanah yang diperdebatkan memang tanah wakaf, ketika terlihat Sahara memasang patok atau memarkir mobil di jalan yang sejatinya diperuntukkan umum, opini publik pun berbalik. Yai Mim dari tersangka berubah jadi korban. Sahara dari korban berubah jadi pelaku.
Kebenaran dalam post-truth bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan sesuatu yang berpindah-pindah, tentu tergantung siapa yang lebih berhasil merebut hati publik di sebuah momen tertentu.
Kasus ini menyimpan cermin bagi kita. Betapa rapuhnya reputasi di era digital. Seorang profesor bisa kehilangan martabatnya bukan karena putusan pengadilan, melainkan karena potongan video yang menyebar tanpa kendali. Sebuah keluarga bisa diusir dari lingkungannya bukan karena terbukti bersalah, melainkan karena opini massa yang terbakar oleh satu unggahan viral.
Dan institusi kita, sayangnya, sering tak cukup kuat untuk menahan laju arus ini. Aparat, kampus, bahkan tetangga, sering terburu-buru mengambil sikap demi meredakan desakan publik. Kita seolah hidup dalam demokrasi yang dikuasai “kerumunan digital”—kerumunan yang tak pernah hadir fisik, tapi bisa menekan siapa saja lewat komentar, share, dan trending topic.
Yang lebih menakutkan, tentu saja kita makin tak punya ruang untuk mendengarkan dengan sabar. Kita ingin segera menilai siapa salah, siapa benar. Kita haus pada drama yang selesai cepat, padahal kebenaran adalah sesuatu yang lamban, penuh proses, dan sering membosankan. Maka, post-truth adalah zaman ketika kesabaran menjadi barang langka.
Namun, di balik polemik ini, ada pertanyaan etis yang lebih besar yakni apakah kita masih percaya bahwa kebenaran itu ada? Ataukah kita sudah rela hidup dalam dunia di mana kebenaran hanya sejenis narasi yang bisa dijual siapa saja, asal lebih dramatis, lebih menyentuh, dan lebih viral?
Ada premis menyebutkan bahwa fakta tanpa tafsir adalah mati, tapi tafsir tanpa fakta adalah ilusi. Dalam kasus Yai Mim vs Sahara, kita sedang menyaksikan bagaimana ilusi bisa lebih berkuasa daripada fakta. Bagaimana sebuah video yang dibungkus air mata bisa lebih kuat daripada dokumen tanah wakaf yang resmi. Bagaimana sebuah komentar netizen budiman bisa lebih menyalak daripada suara akal sehat.
Kejadian ini menjadi bukti literasi digital bukan sekadar soal tahu cara menggunakan aplikasi, melainkan soal etika dan kesadaran. Kesadaran untuk menahan jari sebelum menyebarkan, kesabaran untuk menunggu klarifikasi, kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita tak selalu tahu seluruh cerita.
Post-truth bukanlah kutukan abadi. Ia bisa dilawan dengan satu hal yang sederhana: kejujuran. Kejujuran untuk berkata “saya tidak tahu”, kejujuran untuk bertanya “apa faktanya?”, kejujuran untuk melihat manusia yang dituduh bukan sebagai tokoh dalam drama, melainkan sebagai sesama manusia yang bisa salah, bisa benar, dan bisa terluka.
Mungkin kita memang tak bisa menghentikan viralitas. Tapi kita bisa memilih, apakah kita ingin menjadi bagian dari kerumunan yang menyalakan api fitnah, atau bagian dari masyarakat yang sabar menunggu kebenaran terungkap?
Kasus Yai Mim vs Sahara akan lewat, seperti halnya banyak drama lain yang pernah viral di negeri ini. Namun, jika kita tak belajar darinya, kita akan mengulang pola yang sama yakni korban baru, fitnah baru, reputasi baru yang hancur. Dan kebenaran akan terus menjadi pengungsi di rumahnya sendiri.
*) Fauzan Fuadi S.Ikom M.Med.Ko, Ketua FPKB DPRD Jatim
Editor : Iwan Iwe