Ini bukan semata tentang Hokky Caraka. Bukan hanya tentang Marselino Ferdinan. Ini tentang kita. Ya, tentang kita. Tentang jari-jari kita.
Bahwa dengan mudahnya jari-jari kita menuliskan caci maki. Bahwa dengan gampangnya jari-jari kita melontarkan hujatan.
Dan celakanya, caci maki itu kita alamatkan kepada anak-anak muda yang sudah berpeluh untuk merah putih. Anak-anak muda yang sudah merelakan kehilangan banyak hal demi bisa memberi kebahagiaan kepada banyak orang dari lapangan hijau. Dan anak-anak muda yang usianya belum genap 20 tahun. (Ini bukan berarti kalau ada orang yang tak bermain untuk tim nasional, usianya lewat 20 tahun, boleh kita caci maki. Siapapun itu, tak seharusnya kita caci maki).
Kepada Hokky, caci maki, hujatan seakan tanpa jeda kita letupkan kepadanya. Dan ketika caci maki kita berondongkan kepada Hokky, kita biarkan dia berjalan sendirian. Saat Hokky berusaha keluar dari tekanan, kita pun seperti tak membiarkan dia leluasan bernafas.
Untung Tuhan menganugerahkan mental tangguh kepada Hokky. Ketika dia dicaci maki begitu banyak orang pada saat usianya masih sangat muda -fase labil-, Hokky tidak drop. Padahal, jika tak kuat menahan tekanan, bukan tidak mungkin dia bisa mengalami gangguan jiwa. Bukan tidak mungkin dia mengambil jalan pintas: mengakhiri hidup.
Tapi, Hokky anak muda yang luar biasa. Hokky tidak patah hati. Sebaliknya Hokky justru mampu menjadi pilihan utama di kesebelasan yang dibelanya dan masuk tim nasional Indonesia.
Karena itu, ketika Hokky melakukan selebrasi di Manahan sore itu, bagi saya itu sangat wajar. Ekspresi yang bahkan menurut saya sudah seharusnya dilakukan ketika dia mampu keluar dari caci maki yang datang bertubi-tubi kepadanya. Dan lagi-lagi kita yang keterlaluan. Lagi-lagi jari kita dengan gampangnya menuliskan caci maki kepadanya.
Dan apa yang kita lakukan kepada Hokky, kini kita ulang kepada Marselino. Seperti Hokky, Marselino merupakan anak muda yang sudah berpeluh untuk bangsanya. Untuk negaranya. Sama seperti yang kita lakukan kepada Hokky, kita dengan entengnya mencaci, menghujat, merundung Marselino. Dan kita membiarkan dia sendirian.
Ketika Marselino merespon lewat kata-katanya di media sosial, kita semakin bertubi-tubi mendaratkan caci maki. Padahal, menurut saya, yang dilakukan Marselino merupakan ekspresi yang wajar. Bagi saya, ungkapan Marselino itu celetukan khas Suroboyoan. Sindiran khas Arek Jawa Timur. Sindiran kepada kita semua yang gampang mencaci.
Dan maaf, bagi saya ungkapan Marselino itu juga tidak salah. Negara ini memang lucu. Dengan mudah kok kita menemukan berbagai kelucuan di negeri ini.
Oya, apa yang menimpa Hokky, juga Marselino mengingatkan saya kepada Rachmat "Rian" Irianto. Anak muda itu juga pernah tanpa jeda diberondong caci maki. Rian acapkali menangis di tangga hotel untuk melepaskan diri dari tekanan akibat berbagai caci maki itu. Rian sering merasa sepi di tengah keramaian kala teman-teman setimnya sengaja mengajaknya jalan-jalan dan menghiburnya.
Beruntung Rian memiliki keluarga yang sangat mencintainya. Berkat cinta itu, Rian akhirnya bisa kembali berdiri tegar melanjutkan perjalanan.
Dari apa yang menimpa Rian, Hokky, dan Marselino rasanya sudah cukup mengingatkan kita bahwa sudah seharusnya kita ini menjadi bangsa yang rajin membaca, bukan yang rajin berkomentar. Kalau memang mau mengkritik, kritik saja. Namun bukan mencaci. Bukan merundung. Caci maki, perundungan bukan saja bisa membunuh karir seseorang. Tapi, juga bisa menjadikan seseorang kehilangan nyawa. (*)
Editor : M Fakhrurrozi