PRODUKSI TEMBAKAU INDONESIA
Sejarah tembakau di Indonesia sangat panjang. Tembakau di Indonesia sudah ada sejak kesultanan Mataram-VOC-hingga sekarang. Hal ini ditandai dengan luasan lahan tembakau yang membentang seluas 200 ribu hektar di seluruh wilayah Indonesia. Maka tak heran jika Indonesia menempati urutan ke-6 dunia dengan jumlah total produksi 200 ribu ton per. Jumlah ini mampu mendulang penerimaan negara sejumlah tak kurang Rp150T per tahun. Angka ini cukup besar jika dibandingkan dengan penerimaan lain di luar pajak. Dari tembakau ini pula, negara ini melahirkan taipan-taipan kelas internasional. Sebut saja keluarga Robert Budi Hartono pemilik grup Djarum, dengan total kekayaan US$32 miliar.
Selain group Djarum, sebut saja keluarga Susilo Wonowidjoyo pemilik grup Gudang Garam dengan total kekayaan tak kurang dari US$9 miliar. Ada lebih dari 400 perusahaan berbasis tembaku di Indonesia. Dari jumlah tersebut 10 diantaranya menduduki papan atas di jajaran perusahaan berbasis tembakau.
PENERIMAAN NEGARA DARI CUKAI
Jumlah produksi tembakau yang besar ini mampu mendulang devisa negara senilai 150T pertahuan di luar peneriaam pajak. Penerimaan yang besar ini tak lepas dari peran jumlah konsumen tembakau di Indonesia adalah yang terbesar di seluruh dunia. Penerimaan ini terakumulasi juga dengan penerimaan negara atas cukai. Peningkatan tariff cukai 35% atas produk tembakau juga akan membawa dampak penambahan devisa. Namun peningkatan cukai ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi adalah potensi penerimaan negara, di sisi lain justru akan menyurutkan penerimaan.
Penyusutaan ini bisa jadi diakibatkan oleh trend perubahan perilaku konsumen Indonesia yang beralih kepada produk elektrik. Perubahan perilaku ini juga sebagai dampak siasat kenaikan cukai yang menyeret harga produk berbasis tembakau menjadi menjulang tinggi. Kenaikan harga ini menggeser paradigma baru terhadap produk tembakau. Dari sisi positioning, produk ini akan ‘naik kelas’ menjadi produk premium karena tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat kelas menengah.
Konsekuensi logisnya adalah, produk ini akan ‘dikotak’ dan berjajar dengan produk minuman berbasis alkhohol. Jika demikian, maka produk ini hanya akan ditemukan di counter khusus yang berizin dan diposisikan sebagai barang ‘berbahaya’.
PERALIHAN BISNIS
Pergeseran perilaku konsumen yang menyikapi kenaikan cukai juga akan mengubah cara bisnis perusahaan produk ini. Jika konsumen akan beralih kepada produk elektrik, bukan berarti bisnis berbau nikotin ini akan mati. Justru inilah sebuah evolusi bisnis nikotin yang mengalami perubahan dari produk mainstream ke produk inovasi.
Nikotin yang dihasilkan dari proses mainstream menghasilkan produk yang kita kenal sekarang berbentuk rokok. Namun bukan berarti bisnis ini akan padam, justru dari sudut pandang bisnis, nikotin akan tetap berjaya.
Kenapa demikian? Inovasi yang dilakukan bisa berupa perubahan wujud produk dari produk mainstream ke arah liquid (cairan) rokok elektrik. Perubahan ini pun seakan sudah ‘direncanakan’ jauh hari. Cairan atau liquid rokok elektrik tidak dijual tanpa pajak. Produk ini sudah mulai dilabeli cukai. Maka dalam jangka panjang, bisnis ‘asap’ ini pun akan bertransformasi menjadi bisnis chemical. Dari sisi proses bisnis bisa jadi lebih sederhana, minim limbah, dan resiko terhadap kesehatan ‘tidak’ terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan rokok mainstream.
Bagaiamana dengan nasib rokok mainstream? Suatu ketika produk ini lambat laun akan beralih posisinya. Ia akan menjadi produk yang tidak bisa kita temui di toko retail biasa. Ia akan dijajar di gerai khusus yang berizin. Untuk menuju ke sana, maka perangkat hukum yang mengaturnya pun harus sudah jadi terlebih dahulu.
Hal ini akan memakan waktu proses yang panjang, mengingat bukan hanya anak-anak di bawah umur yang terdampak (positif), namun juga orang dewasa. Namun seperti yang telah diungkapkan di atas, perubahan ini seperti pedang bermata dua. Upaya negara ‘menjauhkan’ generasi ini dari produk ‘berbahaya’ akan berhadapan dengan kultur masyarakat marginal yang memang sudah terbiasa dengan produk mainstream. Bahkan, produk mainstream ini bukan lagi menjadi kebutuhan pribadi, namun juga digunakan sebagai media interaksi sosial di kelas masyarakat marginal.
Foto: Tokopedia.com
COST BENEFIT
Perubahan perilaku karena sebuah kebijakan ini tetap saja membawa konsekuensi logis. Ada sisi positif dan tentu saja sisi negatif. Dari sisi penerimaan negara atas cukai tidak akan mengalami masalah, karena produk subtitusi sudah mampu memberikan asupan meskipun belum signifikan. Asap rokok memang mengganggu, namun di sisi lain cukai rokok sangat ditunggu. Paling tidak ada 6 juta orang mendapat manfaat ekonomi dari tembakau.
Jumlah itu terdiri atas 2 juta petani tembakau, 2 juta peritel rokok, 1,5 juta petani cengkeh, dan 500 ribu pekerja industry tembakau. Dari jumlah tersebut, mereka memberikan asuran Rp150 triliun dari cukai rokok.