90 persen dari hilangnya penglihatan sebenarnya dapat dicegah atau diobati. Hal ini setara dengan 1,1 milyar orang di seluruh dunia yang hidup dengan kebutaan dari penyebab yang sebenarnya dapat dicegah atau diobati. 90 persen dari orang-orang ini hidup di negara-negara dengan penghasilan per kapita yang rendah dan sedang, dan 55 persen diantaranya adalah wanita dan anak-anak. Kebanyakan dari mereka hanya memerlukan intervensi kecil seperti kacamata, untuk mengoreksi penglihatan mereka. (The International Agency for The Prevention of Blindness (IAPB) Vision Atlas: Magnitude of Global Vision Loss, 2020).
IAPB Vision Atlas: Magnitude of Global Vision Loss, 2020 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ketiga negara dengan penderita gangguan penglihatan terbanyak di dunia. Kesehatan mata memiliki peranan penting dalam kemajuan sebuah negara. Adanya penglihatan yang baik dapat memberikan kesempatan bagi seseorang untuk mendapat pendidikan, pekerjaan, dan juga menjaga kesehatan mental orang tersebut.
Hal yang jarang disadari atau dipertimbangkan adalah adanya satu orang dengan kebutaan atau gangguan penglihatan sedang-berat bukan berarti hanya akan mengurangi satu pendapatan per kapita. Penderita tersebut akan membutuhkan satu orang lain untuk menjaga atau merawatnya, sehingga orang tersebut tidak dapat bekerja juga. Oleh karena itu, dampak dari usaha memulihkan penglihatan lebih dari sekedar mengobati kebutaan.
Mengurangi angka kebutaan adalah cara yang efektif untuk mengurangi angka kemiskinan di negara berkembang. Jika lebih banyak orang dapat melihat maka akan lebih banyak orang yang dapat pergi bekerja, ke sekolah, merawat anak, atau memulai usaha. Menghentikan avoidable blindness dapat meningkatkan ekonomi dan perkembangan suatu negara serta mengurangi beban finansial dan sosialnya.
5 Penyebab utama dari hilangnya penglihatan adalah kelainan refraksi, katarak, degenerasi makula karena usia, glaukoma, dan retinopati diabetik. Penyakit-penyakit ini bila ditemukan pada fase awal atau dini dapat diobati dan dicegah untuk mengarah ke kebutaan. Sayangnya, beberapa penyakit seperti glaukoma, retinopati diabetik atau degenerasi makula tidak menimbulkan gejala pada fase dini dan baru menimbulkan gejala setelah memasuki fase sedang-berat. Oleh karena itu, skrining atau deteksi dini memiliki peranan penting untuk mencegah terjadinya avoidable blindness.
Prevalensi kelainan refraksi meningkat dengan cepat terutama pada masa pandemi ini. Kerja sama antara layanan kesehatan mata dengan sekolah-sekolah, termasuk pengadaan kacamata dengan harga terjangkau merupakan strategi utama untuk mengatasi kelainan refraksi yang tidak terkoreksi.
Hilangnya penglihatan dihubungkan pula dengan proses penuaan. IAPB menyebutkan 73 persen dari orang yang mengalami kebutaan atau gangguan penglihatan sedang-berat adalah pada orang dengan usia 50 tahun ke atas. Diperkirakan pada tahun 2050, populasi orang yang berusia 65 tahun ke atas akan meningkat dua kali lipat. Orang-orang ini memiliki risiko untuk menderita kebutaan yang disebabkan oleh katarak, degenerasi makula, glaukoma, serta kelainan refraksi.
RSMM Jawa Timur dalam usahanya untuk mengurangi angka avoidable blindness, bekerja sama dengan berbagai pihak seperti Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, Dinas Kesehatan Kota Surabaya, NGOs, dan lain-lain. Dalam kegiatannya telah melakukan beberapa upaya seperti skrining kelainan refraksi di sekolah, skrining katarak di posyandu-lansia, penyuluhan ke tenaga-tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan primer, bakti sosial operasi katarak di daerah-daerah dengan layanan kesehatan yang minimal, penyuluhan kepada masyarakat awam, dan lain sebagainya. Selain itu RSMM Jawa Timur berupaya merespon kebutuhan masyarakat akan deteksi dini maupun knowledge sharing terkait kesehatan mata antara lain dengan dinas kesehatan kota di kabupaten di Jawa Timur, Dinas Sosial, maupun pondok pesantren dan sekolah swasta di wilayah Surabaya dan sekitarnya. (*)
*) dr. Indriani Kartika Dewi, Sp.M adalah dokter spesialis mata RSMM Jawa Timur