Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk menghapus status tenaga honorer, termasuk guru honorer yang selama ini berperan besar dalam dunia pendidikan. Penghapusan tenaga honorer ini harus diselesaikan paling lambat akhir Desember 2024, sesuai keputusan Presiden Joko Widodo berdasarkan revisi Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Kebijakan ini dimaksudkan sebagai langkah pemerintah untuk membangun sumber daya manusia (SDM) ASN yang lebih profesional dan sejahtera.
Namun, bagi para guru honorer yang sebagian besar telah mengabdikan diri di dunia pendidikan selama bertahun-tahun dengan upah yang sangat jauh di bawah standar UMR, keputusan ini menimbulkan kekhawatiran. Apakah semua guru honorer akan otomatis diangkat menjadi ASN atau PPPK? Ataukah kebijakan ini akan menjadi beban baru bagi mereka?
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), pada tahun 2023 terdapat sekitar 1,6 juta guru di Indonesia, dan lebih dari 50% di antaranya adalah guru honorer. Banyak di antara mereka mengajar di sekolah-sekolah yang kekurangan tenaga pendidik tetap, terutama di daerah terpencil atau pedesaan. Mereka sering kali mengajar lebih banyak siswa dengan beban kerja yang berat, namun menerima gaji jauh di bawah UMR. Berdasarkan laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), banyak guru honorer hanya menerima gaji antara Rp200.000 hingga Rp1.000.000 per bulan, jumlah yang sangat minim untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meski kebijakan penghapusan tenaga honorer diharapkan dapat mengangkat para guru menjadi PNS atau PPPK, kenyataannya proses pengangkatan ini tidak semudah yang dibayangkan. Pemerintah memang telah memberikan kesempatan bagi guru honorer untuk mengikuti seleksi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Namun, berbagai tantangan muncul, seperti proses administrasi yang rumit, tes berbasis kompetensi, dan penilaian administratif yang ketat. Akibatnya, banyak guru honorer yang tidak lolos seleksi ini dan menghadapi ketidakpastian terkait masa depan mereka.
Jika pengangkatan tenaga honorer tidak selesai pada akhir tahun 2024, pemerintah harus menyusun kebijakan baru untuk menyelaraskan kesejahteraan tenaga honorer dan kesempatan kerja bagi generasi muda. Plt. Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian PANRB, Aba Subagja, menyebutkan bahwa honorer yang berprestasi namun tidak sesuai formasi dapat diangkat sebagai PPPK Paruh Waktu. Kebijakan ini memungkinkan guru honorer tetap bekerja dengan waktu dan tugas lebih fleksibel, meski hingga kini belum ada kejelasan bagaimana kebijakan ini akan diterapkan.
Tanpa solusi jelas, penghapusan guru honorer dapat berdampak sosial signifikan. Guru honorer yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun berisiko kehilangan pekerjaan jika tidak ada jaminan pengangkatan. Ini akan memengaruhi kesejahteraan mereka dan keluarga serta mengancam keberlangsungan pendidikan, terutama di wilayah yang sangat bergantung pada tenaga honorer.
Kebijakan ini seharusnya tidak hanya berfokus pada pengangkatan guru, tetapi juga mempertimbangkan nasib guru honorer yang telah berkontribusi besar pada pendidikan. Untuk inklusi yang lebih baik, pemerintah perlu menyederhanakan proses seleksi PPPK. Menurut Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), jika penghapusan guru honorer dilakukan tanpa pengganti memadai, sekolah-sekolah di daerah terpencil atau pedesaan akan kekurangan tenaga pengajar. Hal ini bisa mengganggu proses belajar-mengajar dan menurunkan kualitas pendidikan, terutama di wilayah yang menghadapi keterbatasan sumber daya.
Baca Juga : Presiden Jokowi Jadi Saksi Pernikahan Yusuf dan Jihan, Khofifah: Sebuah Kehormatan
Jika guru honorer yang sudah mengabdi selama bertahun-tahun tidak lolos seleksi PPPK, banyak dari mereka berisiko kehilangan pekerjaan, terutama yang sudah berusia lanjut atau berada di daerah terpencil dengan lapangan pekerjaan terbatas. Penghapusan status tanpa jaminan pengangkatan juga bisa menurunkan motivasi mereka untuk tetap di dunia pendidikan. Kebijakan ini mungkin dipandang sebagai bentuk ketidakadilan, terutama jika guru honorer yang lama mengabdi tidak mendapatkan kesempatan yang layak.
Penghapusan status guru honorer pada 2024 memang bertujuan meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan tenaga pendidik. Namun, tanpa mekanisme yang jelas dan adil, kebijakan ini berpotensi menjadi beban baru bagi banyak guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun dengan upah minim. Proses seleksi PPPK yang rumit dan ketidakpastian mengenai nasib mereka dapat berdampak negatif pada kesejahteraan sosial dan kualitas pendidikan, terutama di daerah terpencil. Pemerintah perlu segera menyederhanakan proses seleksi, memberikan pelatihan, serta memastikan jaminan pekerjaan bagi guru honorer yang tidak lolos seleksi. Jika tidak, kebijakan ini bisa menimbulkan ketidakadilan dan merugikan generasi penerus bangsa yang selama ini mendapat pendidikan dari para pahlawan tanpa tanda jasa ini. (*)
Baca Juga : Ribuan Mahasiswa dan Masyarakat Jatim Tolak Politik Dinasti
*) Juwita Nur Fadila, seorang mahasiswi di Universitas Negeri Surabaya yang sedang menempuh semester 3 jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan aktif mengikuti kegiatan dan organisasi kampus
Editor : Iwan Iwe