Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya 2024 menghadirkan tantangan baru dengan hadirnya pasangan calon tunggal, Eri Cahyadi—Armuji. Situasi ini memicu munculnya kotak kosong sebagai alternatif pilihan, memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
Pilkada 2024 akan dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, termasuk pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya. Pada tanggal 22 September 2024, KPU Jawa Timur mengonfirmasi pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Surabaya, Eri Cahyadi—Armuji, yang diusung oleh 18 partai politik. Ketidakhadiran calon lain membuat Pilwali Surabaya pada 27 November mendatang hanya menyajikan satu pilihan, menciptakan fenomena kotak kosong yang menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat.
Bahaya Kotak Kosong
Mengapa kotak kosong berbahaya bagi kontestasi Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya 2024? Biasanya, masyarakat dihadapkan pada visi dan misi dari beberapa calon untuk dijadikan acuan dalam menentukan pilihan di hari pemilihan. Namun, dengan hanya satu pasangan calon, kesempatan untuk memilih pemimpin yang sesuai harapan masyarakat semakin menipis.
Baca Juga : Generasi Muda Lelah dengan Janji Kosong, Ingin Aksi Nyata di Pilkada
Masyarakat memerlukan beragam gagasan untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan pilihan mereka. Sayangnya, saat ini hanya ada satu pasangan calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini menciptakan kesan bahwa rakyat tidak memiliki pilihan untuk memilih sosok pemimpin yang diinginkan selama lima tahun ke depan.
Selain itu, tingkat elektabilitas calon juga menjadi bahan pertimbangan penting bagi masyarakat. Jika elektabilitas pasangan calon tunggal tersebut tidak mencapai angka 50% dari total suara pemilih, kepercayaan masyarakat terhadap mereka akan dipertanyakan. Dalam situasi ini, kemungkinan besar suara mayoritas akan dialihkan ke kotak kosong. Jika itu terjadi, Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota perlu dijadwalkan ulang, memberi peluang bagi calon lain untuk maju di pemilihan mendatang.
Fenomena pasangan calon tunggal ini tak terlepas dari peran partai politik yang mengusungnya. Saat ini, banyak partai politik lebih memilih untuk berkolaborasi mengusung satu pasangan calon eksekutif daripada mencalonkan kandidat dari partai masing-masing.
Baca Juga : Pilkada 2024: Penyandang Disabilitas di Persimpangan Omong Kosong dan Kotak Kosong
Awalnya, kotak kosong diciptakan untuk menjalankan kontestasi, namun seiring waktu, ia hanya berfungsi sebagai pelengkap. Keberadaan pasangan calon tunggal yang menciptakan kotak kosong ini menutup peluang rakyat untuk menyaksikan pertarungan gagasan antar calon Kepala Daerah. Pada akhirnya, fenomena ini membuat hak rakyat untuk memilih seolah dihapuskan dan digantikan oleh keputusan oligarki. (*)
*) Abel Suryadana, mahasiswa penikmat puisi dan musik bergenre pop-rock. Pemuja setia kopi yang kudu ketemu orang lalu ngobrol sampai lupa daratan buat nambah semangat dan pengetahuan. Masih punya harapan untuk wakil-wakil rakyat bisa menggaungkan aspirasi rakyat.
Baca Juga : Saatnya Memilih Pemimpin Berintegritas untuk Masa Depan Jawa Timur
**) Penulis adalah salah satu peserta magang JTV Digital periode September-Desember 2024.
Editor : Iwan Iwe