Istilah "eksotis" sering dianggap sebagai pujian yang menggambarkan daya tarik fisik seseorang. Secara harfiah, kata ini merujuk pada sesuatu yang unik, berbeda, dan menarik.
Kata "eksotis" berasal dari bahasa Yunani exo, yang berarti luar. Istilah ini mulai muncul pada abad ke-15 dan semakin dikenal luas selama periode kolonialisme.
Pada waktu itu, segala sesuatu yang berasal dari luar Eropa dianggap unik dan menarik, yang memunculkan imajinasi tentang budaya Timur, khususnya dari kawasan Asia, Timur Tengah, dan Afrika.
Edward Said, seorang kritikus sastra Amerika-Palestina, dalam karyanya yang berjudul “Orientalism” mengidentifikasi fenomena ini sebagai orientalisme, di mana pandangan Barat terhadap Timur dibangun atas dasar stereotipe yang merendahkan.
Ia mengkritik orientalisme sebagai bentuk stereotipe, prasangka, dan pemahaman yang terdistorsi, yang sering menempatkan Barat dalam posisi superior dan Timur sebagai sesuatu yang eksotis dan inferior.
Misalnya, ketika budaya Asia dianggap "eksotis" oleh masyarakat Barat, hal ini sering kali disertai dengan asumsi bahwa budaya tersebut primitif atau kurang maju dibandingkan dengan budaya Barat
Eksotifikasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Eksotifikasi pada intinya merupakan proses ketika individu dipandang sebagai "berbeda" dan terpisah dari norma-norma yang umum.
Pujian yang diberikan kepada seseorang atas "keeksotisan"-nya tidak hanya sebagai bentuk penghargaan.
Namun, hal tersebut merupakan cara yang halus untuk mereduksi keunikan individu menjadi objek yang terasing dan hanya dikagumi berdasarkan atribut-atribut yang membedakannya dari kelompok mayoritas.
Sebagai contoh, ketika seseorang dengan kulit gelap disebut "eksotis," hal ini dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap keindahan fisik.
Namun, hal itu juga dapat menunjukkan bahwa orang tersebut dianggap menarik karena perbedaan rasial yang dimilikinya.
Sebutan seperti "selera bule" juga mencerminkan fenomena ini. Misalnya, perempuan Indonesia yang menjalin hubungan dengan pria berkulit putih sering dianggap sebagai pencapaian sosial.
Namun, hal ini juga menunjukkan adanya fetisisme rasial, yakni ketika seseorang dinilai hanya berdasarkan rasnya.
Akibatnya, orang tersebut dilihat sebagai objek fantasi, bukan sebagai individu dengan identitas yang utuh.
Mencintai diri sendiri dan menghargai keberagaman tanpa harus mengedepankan perbedaan adalah langkah penting dalam menghadapi eksotifikasi.
Apresiasi terhadap keunikan individu seharusnya berlandaskan pada pengakuan terhadap kualitas atau kontribusi mereka, bukan hanya menjadikan perbedaan tersebut sebagai daya tarik yang bersifat eksotis.
Editor : Khasan Rochmad