SURABAYA - Eksekusi rumah dan tanah milik keluarga TNI AL, Tri Kumala Dewi, di Jalan Dr Soetomo No. 55, Surabaya, Kamis (27/2/2025) bakal berjalan alot.
Ribuan massa dari Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Jawa Timur bersama Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jatim, Forum Komunikasi Pejuang dan Pemerhati Agraria dan Lingkungan (FKPPAL), serta sejumlah elemen masyarakat lainnya bakal menghadang.
"Kami siap menghadang eksekusi kedua yang dijadwalkan pada 27 Februari 2025. Kami akan mengerahkan ribuan massa dari GRIB Jaya Jatim, FKPPAL, MAKI Jatim, PSHT Surabaya, serta elemen masyarakat lainnya untuk membela hak Ibu Tri Kumala Dewi," ujar drg David Andreasmito, Pembina GRIB Jaya Jawa Timur, didampingi Ketua MAKI Jatim, Heru Satriyo, dalam konferensi pers, Rabu (26/2/2025).
David Andreasmito menilai kasus ini sebagai bentuk kesewenang-wenangan yang didukung oleh praktik mafia tanah dan mafia peradilan.
"Proses hukum yang melibatkan Ibu Tri Kumala Dewi, pemilik lahan telah dipenuhi dengan berbagai kejanggalan. Ada mafia tanah yang bermain dalam sistem peradilan," paparnya.
Tak hanya melakukan aksi massa, lanjutnya, pihaknya juga akan mengajukan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.
"Surat berisi desakan agar pemerintah turun tangan dalam menyelesaikan kasus ini dan memberantas mafia tanah serta mafia peradilan yang diduga telah memanipulasi hukum demi kepentingan pribadi," ungkapnya.
Kasus ini bermula dari kepemilikan lahan oleh Laksamana Soebroto Joedono, yang mendapatkan izin menempati rumah tersebut dari TNI AL pada tahun 1972. Setelah membeli rumah itu melalui proses pelepasan resmi dari TNI AL, hak kepemilikan kemudian diwariskan kepada Tri Kumala Dewi, yang hingga kini masih menempatinya.
"Proses kepemilikan telah memenuhi semua persyaratan administratif, termasuk pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)," paparnya.
Namun, sengketa muncul ketika Dr. Hamzah Tedjakusuma mengklaim kepemilikan tanah berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Gugatan yang diajukannya hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK) akhirnya dimenangkan oleh Ibu Tri Kumala Dewi.
Persoalan semakin rumit ketika SHGB yang sebelumnya telah dinyatakan sebagai tanah negara pada 23 September 1980 ternyata diperjualbelikan. Awalnya, Dr. Hamzah Tedjakusuma menjual SHGB tersebut kepada istrinya, Tina Hinderawati Tjoanda, yang kemudian menjualnya kepada Rudianto Santoso.
Menurut catatan hukum, Rudianto Santoso pernah mengajukan gugatan terhadap Tri Kumala Dewi. Namun gugatannya ditolak oleh Mahkamah Agung.
"Bahkan, Rudianto terbukti melakukan pemalsuan dalam penerbitan Akta Jual Beli terkait rumah tersebut, yang berujung pada penerbitan surat Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polda Jawa Timur pada 8 Juli 2013," terangnya.
Meski demikian, Rudianto Santoso tetap menjual dokumen SHGB yang telah dinyatakan tidak sah tersebut kepada Handoko Wibisono. Handoko kemudian mengajukan gugatan baru terhadap Ibu Tri Kumala Dewi di Pengadilan Negeri Surabaya dan dinyatakan sebagai pemilik sah oleh majelis hakim.
Dalam upaya mencari keadilan, GRIB Jaya Jatim dan koalisi elemen masyarakat berencana melaporkan majelis hakim yang menangani kasus ini ke Komisi Yudisial Republik Indonesia.
"Kami akan melaporkan ketiga majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya ke Komisi Yudisial karena putusan mereka dinilai tidak mempertimbangkan bukti formil dan materiil secara objektif. Ini adalah bukti nyata betapa mafia peradilan masih beroperasi dan merusak sistem hukum di Indonesia," tegas drg David Andreasmito.
Selain itu, mereka juga akan mengajukan permohonan audiensi dengan Komisi III DPR RI untuk mengungkap secara rinci dugaan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus ini.
Masyarakat berharap pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, dapat mengambil tindakan tegas terhadap praktik mafia tanah dan mafia peradilan yang semakin merajalela.
"Jika pemerintah tidak segera turun tangan, maka kasus serupa akan terus terjadi dan rakyat kecil akan selalu menjadi korban. Kami tidak akan tinggal diam dan akan terus berjuang untuk menegakkan keadilan," pungkas drg David Andreasmito. (*)
Editor : M Fakhrurrozi