Ketika dunia kita tampak semakin kecil oleh sentuhan jari, segala sesuatu bisa menjadi besar. Termasuk hal-hal yang, di dunia nyata, mungkin tidak pernah benar-benar ada. Seperti One Piece. Sebuah fiksi bajak laut asal Jepang yang tiba-tiba menyeberangi lautan digital dan mendarat sebagai isu politik dalam negeri.
Tidak jelas benar dari mana angin bertiup, tapi sejurus kemudian, topi jerami pun menjadi simbol yang dituduh beraroma makar. Negara pun bereaksi. Sejumlah elite memperingatkan. Dan publik, sebagaimana lazimnya, terbelah antara yang mencibir dan yang mencemaskan.
Maka saya pun penuh tanda tanya, apakah negara benar-benar sedang menghadapi pemberontakan? Ataukah ini hanya permainan cahaya dari layar ponsel?
Saya mencoba mencari jawabannya dengan menempuh perjalanan, meski dengan cara yang sederhana. Nyaris seperti jurnalisme investigatif, tanpa perangkat akademis, hanya dengan keingintahuan.
Perjalanan itu dimulai dini hari, tanggal 1 Agustus, dari Kabupaten Gresik menuju Jember. Sebuah perjalanan panjang dan tenang yang saya isi bukan dengan mengumpulkan data statistik, melainkan dengan memeriksa apa yang tak ada, yakni bendera One Piece.
Saya tidak menemukannya. Sejauh mata memandang. Truk-truk berlalu lalang. Rumah-rumah diam dalam kebiasaannya. Tidak ada kain bergambar tengkorak bertopi jerami berkibar di sepanjang jalur Surabaya–Jember, tak pula di Lumajang, Tuban, atau Bojonegoro. Tidak di atas bak kendaraan, tidak di pekarangan rumah, tidak pula di gardu remaja. Tidak satu pun.
Tentu saja, ketiadaan bukan bukti absolut. Tapi ia bisa menjadi penanda. Saya tak hendak menyimpulkan sesuatu yang besar dari perjalanan singkat itu. Tapi saya mulai merasakan adanya jarak yang lebar antara kehebohan dunia maya dan kenyataan yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri.
Saya melanjutkan observasi. Kali ini ke ranah virtual yakni marketplace. Di sana, realitasnya justru sebaliknya. Penjual bendera One Piece ada banyak. Angka penjualan mereka ribuan. Sebuah akun bernama Dxpro Apparel, misalnya, mencatat lebih dari 9.000 bendera terjual. Penjual lain bahkan menawarkan ragam aksesori mulai dari kaos hingga pin. Fakta ini membawa saya pada satu hipotesis awal: mungkin banyak orang memang membeli bendera tersebut, tapi mereka tidak memasangnya. Mungkin mereka hanya menggunakannya sesaat, untuk kebutuhan konten. Atau, mungkin pula, mereka takut.
Ketakutan hari ini bukan hanya milik penguasa. Ia menetes sampai ke warganet. Ketika simbol fiksi bisa dituduh sebagai ancaman konstitusional, ketika humor dibaca sebagai penghinaan, dan kritik disamakan dengan subversi, maka publik pun belajar menyembunyikan diri. Bendera disimpan. Postingan dihapus. Tawa ditahan. Ketakutan itu sunyi dan justru karena sunyi, ia lebih keras dari apapun yang viral.
Tapi, bagaimana One Piece bisa menjadi begitu mengganggu?
Jawabannya bisa jadi terletak pada cara kita hari ini menyerap informasi. Ia datang cepat, tak utuh, dan seringkali tanpa perlawanan dari nalar. Kita hidup dalam algoritma yang tak hanya menyajikan berita, tapi juga memproduksi persepsi. Dan di balik semua itu, ada mesin-mesin cerdas yang bekerja lebih cekatan dari wartawan mana pun, dari pembuat opini mana pun. Salah satunya adalah VEO 3.
VEO 3 adalah kecerdasan buatan yang diciptakan Google—satu dari sekian banyak model AI generatif yang mampu menciptakan video dari teks, gambar, atau bahkan dari fragmen-fragmen ide. Ia bekerja tanpa kamera, tanpa aktor, tanpa kru produksi. Ia hanya butuh prompt—perintah yang dituliskan dalam kata-kata. Dan dalam hitungan menit, ia menciptakan dunia baru. Video yang tampak nyata, suara yang terdengar akrab, pergerakan kamera yang sinematik. Bahkan tanda air digital (watermark) pun bisa ditambahkan, sebagai semacam stempel keaslian dari sesuatu yang sepenuhnya artifisial.
Dalam dunia seperti itu, apa yang kita lihat belum tentu ada. Dan apa yang ada, belum tentu terlihat.
Maka tidaklah mengejutkan bila ada konten One Piece yang begitu meyakinkan, begitu ramai, dan begitu cepat menyebar—padahal jejak fisiknya nyaris nihil. Kita sedang menghadapi dunia yang bisa menciptakan dirinya sendiri. Dunia di mana cerita bisa menyalip kenyataan. Dunia di mana fiksi bisa menciptakan krisis, dan krisis bisa berangkat dari ilusi.
Adakah yang salah dari semua ini?
Saya kira, tidak selalu. One Piece tetaplah cerita tentang persahabatan, tentang pemberontakan terhadap ketidakadilan, tentang dunia yang ditata ulang oleh imajinasi. Ia bukan doktrin ideologis, bukan pula seruan revolusi. Tapi ketika simbol-simbolnya ditarik ke dalam arus politik, maka ia berubah menjadi cermin: siapa yang melihatnya akan melihat dirinya sendiri.
Mereka yang gelisah akan melihat ancaman. Mereka yang resah akan melihat sindiran. Dan mereka yang terlalu sibuk menjaga wibawa, mungkin akan lupa bahwa negara tidak seharusnya gemetar oleh simbol kartun.
Tentu, kita tidak bisa menertawakan segalanya. Kita juga tidak boleh mengabaikan kemungkinan manipulasi simbol untuk agenda tertentu. Tapi menyikapi semuanya dengan paranoia adalah kekeliruan yang lebih berbahaya. Sebab ketakutan yang tak berdasar bisa dengan mudah berubah menjadi penindasan yang diam-diam.
Maka tugas kita hari ini bukanlah membakar bendera, bukan pula menurunkannya. Tugas kita adalah membaca—dengan kepala dingin dan hati terbuka. Kita harus mampu memisahkan mana kritik dan mana makar, mana lelucon dan mana hasutan. Dan yang paling penting: kita harus mampu bertanya kembali, sebelum menjawab dengan kemarahan.
Sebab, seperti kata seorang bijak, dalam demokrasi yang sehat, suara yang mengganggu bukanlah musuh. Ia adalah bagian dari napas bangsa. Ia adalah bukti bahwa masyarakat masih hidup, masih berpikir, masih berani berbicara.
Maka One Piece—apapun itu bagi Anda—barangkali tak lebih dari itu: suara yang mengganggu. Kadang jenaka, kadang menggelisahkan. Tapi dalam kebisingan dunia maya, kita hanya bisa berharap satu hal: jangan sampai kita kehilangan kemampuan untuk membedakan yang nyata dan yang dibesar-besarkan.
Karena bisa jadi, seperti perjalanan saya selama dua hari itu, yang sesungguhnya terjadi bukanlah pemberontakan. Tapi sekadar perasaan yang terlampau cepat menyimpulkan. Bendera yang tak pernah berkibar, bisa jadi lebih bijak dari kita yang terlalu cepat melabelinya. (*)
*) Alumni Pascasarjana FISIP Unair, Jurusan Media dan Komunikasi, Ketua Fraksi PKB DPRD Jatim
Editor : Iwan Iwe