Kelapa , buah yang akrab di dapur dan pekarangan kita, kini berubah menjadi komoditas mahal. Bukan karena bencana alam, bukan karena gagal panen, tetapi karena satu sebab yang justru dianggap prestasi: ekspor besar-besaran.Kelapa laris manis di pasar dunia. Harganya tinggi. Pengusaha pun tergoda. Data ekspor naik, devisa masuk, dan grafik ekonomi negara tampak memuaskan. Tapi ada yang terlupa, dapur rakyat sendiri.
Pasokan kelapa di pasar domestik menipis. Akibatnya harga kelapa tua kini melambung tinggi. Bisa mencapai Rp 15 ribu per butir, bahkan lebih tinggi lagi. Bagi ibu rumah tangga, ini bukan angka kecil. Banyak yang mulai mengurangi santan dalam masakan. Pedagang makanan pun ikut mengeluh.
Petani kelapa tidak serta-merta diuntungkan. Sebagian dari mereka masih menjual dengan harga rendah ke pengepul. Yang menikmati kenaikan harga lebih banyak berada di tengah rantai pasok. Mereka adalah eksportir, pengusaha besar, dan pasar luar negeri.
Negara baru hadir ketika semuanya sudah telanjur mahal. Baru setelah harga naik, bicara soal pembatasan ekspor. Baru setelah stok dalam negeri menipis, bicara penanaman baru dan peremajaan pohon kelapa. Padahal ekspor kelapa bukan hal baru. Tapi seolah kita selalu gagap menghadapi akibatnya.
Baca Juga : Pj. Gubernur Adhy Lepas Ekspor Produk Unggulan Jatim ke Empat Negara, Totalnya Tembus Rp 1,3 Miliar
Kita tidak anti ekspor. Tapi ekspor tanpa kontrol, tanpa perlindungan untuk pasar lokal, adalah kebijakan yang timpang. Di satu sisi kita bangga menjadi pengekspor kelapa dunia, tapi di sisi lain rakyat sendiri kesulitan membeli kelapa untuk lauk harian.
Sudah saatnya pemerintah bertindak lebih cepat. Bukan hanya merespons krisis, tapi mengantisipasi. Peremajaan pohon kelapa, insentif bagi petani lokal, serta pengaturan ekspor harus menjadi bagian dari strategi nasional.
Rayuan pasar luar negeri memang menggiurkan. Tapi jangan sampai kita kehilangan rasa terhadap kebutuhan sendiri. Jangan sampai kelapa hanya jadi cerita manis bagi pasar global, sementara rakyat di negeri nyiur melambai ini, hanya bisa menggerutu kesal. (*)
Editor : A. Ramadhan