Nasionalisme dianggap menjadi hal penting bagi eksistensi suatu bangsa. Keberadaanya sebagai pengikat yang menyatukan masyarakat dengan beragam latar belakang untuk memperkuat identitas bersama.
Namun, ketika nasionalisme melampaui batas yang wajar, ia bisa menjadi ancaman yang merusak nilai-nilai yang seharusnya dijaga.
Salah satu bentuk ancaman tersebut adalah fasisme, sebuah ideologi politik yang radikal dan menekankan nasionalisme yang ekstrem.
Sejarah fasisme
Pengertian fasisme berasal dari bahasa Italia, yaitu fascismo. Kata ini berakar dari fascio, yang mempunyai arti ikat.
Istilah ini sendiri diambil dari bahasa Latin fasces, yang menggambarkan seikat batang kayu, biasanya dengan kapak di tengahnya, yang menjadi simbol kekuasaan hukum di Kekaisaran Romawi.
Fasisme muncul pada awal abad ke-20, terinspirasi oleh semangat nasionalisme yang telah berkembang di Eropa selama beberapa dekade sebelumnya.
Nasionalisme, yang mengedepankan keyakinan akan superioritas bangsa sendiri dibandingkan bangsa lain, menjadi alat yang sangat efektif bagi gerakan fasis untuk menarik dukungan dan membenarkan tindakan mereka.
Kaum fasis meyakini bahwa sistem demokrasi liberal sudah tidak relevan lagi. Mereka berpendapat bahwa mobilisasi total masyarakat di bawah satu partai totaliter yang dipimpin oleh seorang diktator adalah langkah penting.
Hal tersebut merupakan yang diperlukan untuk mempersiapkan bangsa menghadapi potensi konflik bersenjata dan mengatasi tantangan ekonomi dengan lebih baik.
Transformasi nasionalisme menjadi fasisme
Pemimpin-pemimpin fasis seringkali memanfaatkan simbol-simbol nasionalisme untuk menarik dukungan dari masyarakat.
Mereka memanfaatkan bendera, lagu kebangsaan, dan narasi sejarah yang heroik sebagai alat propaganda yang memperkuat loyalitas rakyat terhadap negara, meskipun hal ini mengorbankan kebebasan individu.
Dalam situasi ini, nasionalisme yang seharusnya menjadi ekspresi kebanggaan bersama justru bertransformasi menjadi alat kontrol yang menindas.
Contoh yang paling mencolok dapat ditemukan di Jerman ketika masa kepemimpinan Adolf Hitler dan Italia di bawah Benito Mussolini.
Kedua tokoh tersebut mengadopsi narasi nasionalisme untuk menyatukan rakyat sekaligus melegitimasi tindakan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Nasionalisme yang mereka usung tidak lagi sekadar simbol kebanggaan, melainkan menjadi senjata untuk mengecualikan, menindas, dan bahkan memusnahkan pihak-pihak yang dianggap sebagai ancaman.
Di dunia yang semakin berkembang dan saling terhubung, nasionalisme yang berlebihan tidak hanya mengancam negara itu sendiri, tetapi juga mempengaruhi stabilitas global.
Oleh karena itu, sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa rasa bangga terhadap bangsa tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Editor : Khasan Rochmad