Dalam hiruk-pikuk politik Indonesia yang semakin dinamis, suara pemuda sering kali tenggelam di antara gemuruh kepentingan elite dan partai politik. Namun, fenomena menarik muncul pada Pemilu 2024: lonjakan signifikan partisipasi pemuda dalam politik praktis. Dari data KPU, tercatat lebih dari 52% caleg adalah pemuda berusia di bawah 35 tahun. Apakah ini pertanda kebangkitan suara pemuda atau sekadar strategi pemanis parpol untuk memikat pemilih muda?
Pemuda, dengan idealisme dan energi yang meluap-luap, sejatinya adalah motor penggerak perubahan. Mereka lahir dan tumbuh di era digital, di mana informasi mengalir deras tanpa sekat. Pemikiran mereka lebih terbuka, lebih progresif, dan tak jarang lebih berani dalam menantang status quo. Namun, ironinya, sering kali suara mereka teredam oleh sistem politik yang cenderung konservatif dan berpihak pada kemapanan.
Mari kita telaah lebih dalam. Mengapa partisipasi pemuda dalam politik formal begitu krusial? Jawabannya sederhana namun mendasar: mereka adalah pemilik masa depan. Kebijakan yang diambil hari ini akan mempengaruhi kehidupan mereka dalam jangka panjang. Logikanya, sudah sepatutnya mereka memiliki andil dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, realitasnya tak sesederhana itu. Sistem politik kita, dengan segala kompleksitasnya, sering kali menjadi benteng yang sulit ditembus oleh anak muda. Biaya politik yang tinggi, sistem kaderisasi yang lemah, dan stigma "kurang pengalaman" menjadi hambatan besar. Belum lagi tantangan dari dalam: apatis politik yang menghinggapi sebagian pemuda, merasa bahwa suara mereka tak akan membuat perbedaan.
Langkah Menuju Partisipasi Bermakna
Lantas, bagaimana kita bisa membalikkan keadaan ini? Bagaimana membuat partisipasi pemuda bukan sekadar kosmetik politik, tapi benar-benar menjadi katalis perubahan?
Pertama, kita perlu menyadari bahwa partisipasi politik tidak melulu soal menjadi anggota legislatif atau eksekutif. Di era digital ini, ruang partisipasi telah meluas secara signifikan. Media sosial, misalnya, telah menjadi arena yang powerful bagi pemuda untuk menyuarakan opini, mengorganisir gerakan, dan memobilisasi dukungan untuk berbagai isu.
Contoh nyatanya? Lihat saja gerakan #ReformasiDikorupsi yang dimotori oleh mahasiswa pada 2019. Melalui kampanye daring yang masif, mereka berhasil mendorong penundaan pengesahan beberapa undang-undang kontroversial. Ini membuktikan bahwa ketika pemuda bersatu dan menggunakan platform yang tepat, suara mereka bisa menggema hingga ke gedung parlemen.
Kedua, kita perlu mendorong pemuda untuk terlibat dalam politik akar rumput. Keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, LSM, atau bahkan startup sosial bisa menjadi batu loncatan yang efektif. Di sini, mereka bisa mengasah kepekaan sosial, membangun jaringan, dan belajar mengelola isu publik secara langsung.
Ketiga, dan mungkin yang paling krusial, adalah reformasi sistem politik. Kita perlu sistem yang lebih inklusif, yang memberi ruang lebih luas bagi partisipasi pemuda. Ini bisa dimulai dari partai politik. Bagaimana jika ada kuota minimal untuk kader muda di posisi strategis partai? Atau sistem mentoring yang mempertemukan politisi senior dengan kader muda potensial?
Di sisi lain, pemerintah juga perlu lebih proaktif dalam melibatkan pemuda dalam proses kebijakan. Forum konsultasi publik yang melibatkan kelompok pemuda, program magang di lembaga pemerintah, atau bahkan pembentukan dewan penasihat pemuda di tingkat kementerian bisa menjadi langkah awal yang signifikan.
Namun, semua ini akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan upaya sistematis untuk meningkatkan literasi politik di kalangan pemuda. Pendidikan kewarganegaraan di sekolah perlu direvitalisasi, tidak sekadar hafalan UUD 1945, tapi pemahaman kritis tentang sistem demokrasi dan peran warga negara di dalamnya.
Lebih jauh, kita perlu mengubah narasi tentang politik di kalangan pemuda. Politik bukan hanya soal perebutan kekuasaan, tapi juga tentang bagaimana membuat perubahan nyata dalam masyarakat. Kisah-kisah inspiratif tentang pemuda yang berhasil membuat perubahan melalui jalur politik perlu lebih sering diangkat ke permukaan.
Tentu saja, membuka ruang partisipasi saja tidak cukup. Pemuda sendiri perlu proaktif dan berani mengambil peran. Mereka perlu keluar dari zona nyaman, berani berpendapat, dan tak gentar mengkritisi kebijakan yang dirasa tidak tepat. Yang tak kalah penting, mereka perlu terus belajar, mempertajam analisis, dan membangun integritas diri.
Pemuda sebagai Pemimpin Hari Ini
Partisipasi pemuda dalam politik bukan sekadar tren sesaat. Ini adalah kebutuhan mendesak jika kita ingin membangun demokrasi yang lebih sehat dan dinamis. Pemuda, dengan perspektif segar dan keberanian untuk bermimpi besar, bisa menjadi penyeimbang yang dibutuhkan dalam lanskap politik kita yang sering kali terjebak dalam pragmatisme jangka pendek.
Bayangkan Indonesia di masa depan, di mana ide-ide segar mengalir deras dalam sidang parlemen, di mana kebijakan publik tak hanya menjawab kebutuhan hari ini, tapi juga mengantisipasi tantangan masa depan. Bayangkan pemimpin-pemimpin muda yang tak hanya fasih berbicara tentang revolusi industri 4.0 atau perubahan iklim, tapi juga punya strategi konkret untuk menghadapinya.
Inilah mengapa partisipasi pemuda bukan sekadar pilihan, tapi keharusan. Bukan hanya demi masa depan mereka, tapi demi masa depan bangsa. Karena pada akhirnya, membangun partisipasi pemuda berarti membangun fondasi demokrasi yang lebih kokoh untuk Indonesia di masa depan.
Sudah saatnya kita berhenti memandang pemuda sebagai "pemimpin masa depan" dan mulai melihat mereka sebagai "pemimpin hari ini". Dengan memberikan kepercayaan, platform, dan sumber daya yang tepat, kita bisa membuka jalan bagi gelombang perubahan yang dipimpin oleh energi dan idealisme kaum muda.
Tantangannya memang besar, tapi potensinya jauh lebih besar. Jika kita bisa menciptakan ekosistem politik yang ramah pemuda, yang menghargai ide-ide segar dan keberanian untuk berbeda, maka kita tidak hanya akan melihat lonjakan partisipasi politik pemuda. Lebih dari itu, kita akan menyaksikan transformasi lanskap politik Indonesia menjadi lebih dinamis, inovatif, dan berorientasi masa depan.
Inilah saatnya untuk membuka pintu lebar-lebar bagi partisipasi pemuda. Karena ketika suara pemuda bergema kuat dalam ruang-ruang pengambilan keputusan, itulah saat di mana perubahan sejati mulai terjadi. Dan siapa tahu, mungkin dari sanalah akan lahir solusi-solusi inovatif untuk berbagai persoalan kompleks yang kita hadapi sebagai bangsa. (*)