Ketika pasien mendapatkan vonis glaukoma, maka momen tersebut adalah awal dari sebuah perjalanan panjang. Tidak dapat dipungkiri perasaan terkejut, stress, overthinking yang mungkin terbesit dalam benak penderita maupun keluarga. Menyalahkan keadaan, gaya hidup, atau apapun sebagai penyebab bukanlah yang utama dan tidak dapat merubah kondisi.
Glaukoma merupakan istilah dari sekelompok gejala penyakit pada mata yang menyebabkan kerusakan pada saraf mata dan pada akhirnya menimbulkan penurunan fungsi penglihatan hingga kebutaan. Pada umumnya penurunan penglihatan bersifat bertahap dan terlebih dahulu menyerang lapang pandangan terluar (perifer) sebelum seseorang menyadari kondisinya. Hingga saat ini, secara medis glaukoma tidak dapat disembuhkan, penurunan penglihatan bersifat permanen, namun dapat diatasi.
Glaukoma menjangkit jutaan orang di dunia dan sering menjadi penyebab utama kebutaan. Berdasarkan rilis WHO pada World Report of Vision tahun 2019, 76 juta jiwa di dunia mengalami gejala glaukoma. Seiring dengan perjalanan penyakitnya, glaukoma akan menyebabkan degradasi fungsi penglihatan secara bertahap. Pada beberapa individu turunnya penglihatan terjadi sangat cepat, namun bisa juga perlahan hingga tidak selalu dirasakan. Mengapa begitu? Ada banyak faktor penyebab glaukoma yaitu glaukoma murni (primer) dan glaukoma akibat penyakit lain (sekunder).
Glaukoma primer cenderung terjadi perlahan, dalam periode bulanan bahkan tahunan. Tipe glaukoma ini yang paling sering tidak menunjukkan gejala awal yang signifikan bahkan penderita sama sekali tidak menyadari. Disinilah glaukoma disebut “Si Pencuri Penglihatan”. Pada tipe kedua glaukoma bisa disebabkan penyakit lain, seperti katarak, trauma, diabetes mellitus, penggunaan obat-obatan tertentu, keradangan pada mata maupun beberapa faktor lain yang kadang tidak diketahui. Pada tipe ini terdapat kemungkinan glaukoma berkembang lebih cepat, yakni dalam waktu mingguan. Gejala penurunan penglihatan dapat lebih terasa dikarenakan faktor penyakit yang mendasarinya.
Glaukoma juga tidak memandang usia. Mereka yang mendapat vonis glaukoma di usia yang lebih muda, tentu akan lebih mudah merasa sedih, murung bahkan mungkin depresi. Glaukoma di usia produktif tentunya akan merembet ke semua segmen kehidupan seseorang. Tingkat produktifitas, sosio-ekonomi, hubungan dengan keluarga dapat mengalami gangguan. Mereka yang seharusnya menjadi tumpuan orang lain, malah ditimpa kesusahan, dan sedikit banyak menjadi beban sesamanya.
Walaupun jarang, glaukoma dapat juga terjadi pada usia belia. Bayi, anak-anak hingga remaja dapat mengalami glaukoma jenis tertentu. Memberikan pengertian, arahan dan edukasi yang bertahap sesuai usia harus dilakukan secara continue karena kondisi glaukoma cenderung menetap seumur hidup mereka.
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya glaukoma diantaranya adalah adanya riwayat keluarga sedarah dengan glaukoma, usia lanjut, penyakit peserta Diabetes Mellitus dan atau penyakit sistemik lain, kekeruhan lensa (katarak) maupun tekanan bola mata tinggi yang kronis. Diagram berikut ini menggambarkan tahapan penegakan diagnosis dan terapi dari kondisi glaukoma.
Tahapan dari dimulainya diagnosis glaucoma, ketika seseorang memiliki faktor risiko glaukoma, maka perjalanan dengan glaukoma akan dimulai walaupun tanpa menunjukkan gejala. Deteksi dini dapat dilakukan pada populasi dengan faktor risiko maupun tanpa faktor risiko namun telah mencapai usia 40 tahun ke atas. Ketika pemeriksaan telah menegakkan kondisi glaukoma, maka dokter spesialis mata akan mengarahkan pada terapi awal yang sesuai jenis glaukoma. Bila tidak ada indikasi glaukoma dari pemeriksaan, maka pemeriksaan rutin ulang dapat dilakukan dalam waktu 1 hingga 2 tahun.
Penderita glaukoma yang telah mendapat terapi awal harus terus melanjutkan pengobatannya secara continue, dikarenakan terapi glaukoma berlangsung mengikuti usia. Dari sini, pemeriksaan berkala untuk monitoring dan evaluasi akan terus dilakukan dengan mengukur tekanan bola mata, memantau kondisi saraf mata melalui pencitraan sekaligus melihat adanya indikasi penyakit mata lain.
Kesehatan mental para penderita glaukoma harus terjaga. Di Indonesia sendiri, edukasi mengenai glaukoma masih terpusat di area yang terlayani oleh spesialis mata saja Diperlukan pusat bantuan atau organisasi yang menawarkan edukasi, networking, dan kesempatan untuk berbagi dengan komunitas dengan kondisi yang sama..
Melakukan edukasi ditujukan juga untuk meminimalkan kesalahpahaman dan kesenjangan (gap) pengetahuan dan informasi antar tenaga kesehatan dan penderita serta keluarga. Bila kedua belah pihak telah saling memahami diharapkan akan terbangun kepercayaan sehingga terjalin komunikasi efektif serta peningkatan kepatuhan terhadap jadwal pengobatan beserta jadwal kontrol.
Edukasi tidak hanya sebatas pada pihak-pihak yang terkait secara langsung saja. Masyarakat secara umum juga perlu mengenali dengan baik perihal seluk beluk glaukoma. Media sosial ditunjang dengan teknologi yang semakin canggih hendaknya digunakan untuk mendukung pengenalan, penjabaran dan penyebarluasan informasi yang tepat dan cepat perihal kewaspadaan glaukoma. Berikut kami gambarkan dan sedikit jabarkan target populasi edukasi perihal glaukoma.
Target populasi edukasi kewaspadaan glaukoma terdiri dari:
1. Edukasi terhadap individu dengan glaukoma atau risiko glaukoma
Edukasi terhadap penderita glaukoma atau mereka dengan risiko glaukoma meliputi gejala yang mungkin terjadi, pentingnya deteksi dini guna mengoptimalkan manajemen glaukoma yang pada akhirnya akan memberikan kualitas hidup yang lebih baik walau harus berdampingan dengan glaukoma. 2. Edukasi keluarga dan kerabat yang menjadi support system pasien glaukoma
Dengan memberikan edukasi terhadap keluarga dan kerabat diharapkan tenaga kesehatan dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing keluarga. 3. Edukasi para Profesional Kesehatan
Tenaga kesehatan secara universal juga butuh diberikan edukasi mengenai penyakit glaukoma serta opsi terapi terkini yang tersedia sesuai dengan area masing-masing. Seringkali lokasi dimana sebuah pusat kesehatan berada menentukan kemampuan jenis pengobatan yang tersedia.
4. Edukasi masyarakat umum
Peningkatan kewaspadaan dan pemahaman terhadap glaukoma secara luas dapat membantu mengurangi stigma terhadap mereka yang terdeteksi glaukoma serta menumbuhkan empati kepada sesama. Salah satu momentum edukasi besar-besaran tiap tahunnya adalah pada periode World Glaucoma Week. Pada jangka panjang, hal ini tentu akan memperbaiki sistem serta memungkinkan populasi pasien dengan glaukoma menjadi tetap berdaya sesuai kemampuannya. (*)
Referensi:
1. Glaucoma New Zealand. Department of Ophthalmology the University of Auckland. 2022. Understanding Glaucoma and Mental Health. Available at : https://glaucoma.org.nz/ researcher-confirms-unseen-link-between-glaucoma-and-mental-health/
2. World Health Organization. 2019. World Report on Vision. Available at : http://www.who.int/publications-detail/ world-report-on-vision
3. Kyari, F. et al. 2021. Counselling in a Glaucoma Care Service. Published : 2022. Community Eye Health Journal
4. Obasuyi OC, Yeye-Agba OO, Ofuadarho OJ. 2024. Factors limiting glaucoma care among glaucoma patients in Nigeria: A scoping review. PLOS Glob Public Health 4(1): e0002488. https://doi.org/10.1371/journal.pgph.0002488
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Gangguan Pendengaran. Permenkes No. 82 Tahun 2020. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan