Sejak tahun 2003, pemerintah telah melarang ekspor pasir laut. Namun, kebijakan ini berubah ketika Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 pada Mei 2023, yang mengatur pengelolaan hasil sedimentasi laut. Tujuannya adalah melindungi dan mengatur ekosistem pesisir serta pulau-pulau kecil dari ancaman penambangan ilegal. Kendati demikian, kebijakan ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat.
Salah satu pihak yang memberikan kritik adalah Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), yang menyerukan pemerintah untuk menahan diri dalam melaksanakan PP ini. Di sisi lain, kebijakan tersebut dianggap memiliki potensi ekonomi, seperti peningkatan pendapatan negara dan penciptaan lapangan kerja. Namun, kekhawatiran terhadap dampak ekologis yang serius juga tidak dapat diabaikan.
Dampak Historis dan Degradasi Lingkungan
Penambangan pasir laut bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak akhir 1970-an, aktivitas ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, termasuk abrasi pantai, hilangnya ekosistem laut, serta terganggunya keseimbangan ekosistem pesisir. Akibatnya, masyarakat lokal yang bergantung pada ekosistem laut untuk mencari ikan atau kegiatan ekonomi lainnya terkena dampak langsung.
Kebijakan legalisasi ini, meskipun menjanjikan keuntungan ekonomi, berpotensi mengancam keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Oleh karena itu, diperlukan kajian komprehensif yang mempertimbangkan risiko jangka panjang.
Peluang Ekonomi: Menggiurkan, Namun Tidak Selalu Menguntungkan
Penambangan pasir laut menawarkan peluang ekonomi besar, terutama untuk peningkatan devisa negara. Pasir laut adalah komoditas yang banyak dibutuhkan negara-negara seperti Singapura untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Hal ini mendorong investasi pemerintah dan swasta dalam infrastruktur pendukung.
Namun, laporan CELIOS (Center of Economic and Law Studies) menunjukkan bahwa keuntungan dari ekspor pasir laut jauh lebih kecil dibandingkan dampak negatifnya. Nailul Huda, Direktur Ekonomi CELIOS, menyebutkan bahwa meskipun pengusaha pasir laut dapat memperoleh keuntungan hingga Rp502 miliar, kontribusi bagi negara hanya sekitar Rp170 miliar.
Ekspor pasir laut juga memengaruhi sektor perikanan. Studi CELIOS memperkirakan penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan mencapai Rp1,59 triliun akibat ekspor pasir sebesar 2,7 juta m³. Selain itu, pendapatan nelayan diperkirakan berkurang hingga Rp990 miliar, dengan hilangnya lapangan kerja bagi 36.400 orang di sektor ini.
Kerusakan Ekologis: Ancaman Nyata bagi Keberlanjutan
Penambangan pasir laut skala besar menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan. Laporan UNEP (United Nations Environment Programme) menyebutkan bahwa pasir adalah sumber daya paling dieksploitasi kedua di dunia setelah air. Di Indonesia, pengambilan pasir laut berdampak serius pada ekosistem terumbu karang dan padang lamun, yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, menilai kebijakan ini sebagai bentuk "greenwashing" yang dapat mendorong kerusakan ekosistem laut secara masif. Di Kepulauan Riau, misalnya, penambangan pasir laut telah menyebabkan abrasi parah hingga memaksa masyarakat pesisir bermigrasi karena desa-desa mereka tenggelam.
Tanpa pengawasan ketat, kebijakan ini berisiko membuka celah bagi eksploitasi liar yang merusak lingkungan. Pertanyaan besar muncul: apakah pemerintah mampu memastikan penegakan hukum yang efektif terhadap aktivitas ilegal ini, terutama di wilayah terpencil?
Keseimbangan Ekonomi dan Lingkungan
Kebijakan ekspor pasir laut memerlukan pendekatan yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah perlu menerapkan standar yang jelas terkait praktik penambangan, memastikan kajian dampak lingkungan yang menyeluruh, dan melibatkan ahli lingkungan serta masyarakat pesisir dalam pengambilan keputusan.
Transparansi dan partisipasi publik menjadi kunci penting agar kebijakan ini benar-benar mencerminkan kepentingan jangka panjang, bukan hanya ekonomi sesaat. Legalisasi ekspor pasir laut harus berhati-hati, dengan kelestarian lingkungan sebagai prioritas utama.
Kebijakan ini, meski menjanjikan manfaat ekonomi, berpotensi membawa kerugian besar secara ekologis. Keseimbangan antara manfaat ekonomi dan tanggung jawab terhadap lingkungan harus menjadi landasan utama dalam pengelolaan sumber daya alam. (*)