SURABAYA - Fenomena judi online kembali menjadi perbincangan publik pasca Briptu Fadhilatun Nikmah, polwan tega membakar suaminya yang juga anggota Polri Briptu Rian Dwi Wicaksono akibat Judi Online.
Dalam temuan PPATK, transaksi Judi Online menembus angka yang fantasis, sebesar Rp. 100 Triliun untuk periode Januari-Maret 2024.
Temuan PPATK ini, disampaikan Menkominfo Budi Arie Setiadi, saat melakukan Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI, Beberapa waktu lalu (10/6/2024). Ironis, angka fantasis itu tetap muncul di tengah upaya Menkominfo memblokir 1,9 juta konten atau website taruhan daring sepanjang tahun 2023-2024. Para pelaku seperti menemukan celah untuk menjalankan aksi pertaruhan daring di Indonesia.
Pakar Hukum Fintech, Johan Avie menyebutkan bahwa Judi Online sulit diberantas akibat adanya Ekosistem Bisnis yang menopang kejahatan itu, salah satunya adalah Bisnis Sistem Transaksi Elektronik.
Baca Juga : Polwan Bakar Suami di Mojokerto Dituntut 4 Tahun Penjara
"Kalau Judi konvensional itu kan uang kertas yang jadi taruhannya, sedangkan Judi Online ini Uang Elektronik yang dimainkan untuk taruhan." kata Johan saat dialog Hukum di Tengah Kita di JTV, Selasa (11/6)
Di Indonesia, pengelolaan Uang Elektronik sendiri telah diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 Tahun 2018 tentang Uang Elektronik. Setidaknya terdapat 110 Perusahaan yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebagai pemegang izin kategori 1 (Uang Elektronik), dan dapat menjalankan layanan jasa uang elektronik.
Johan menuturkan jika alur untuk dapat memainkan taruhan di website judi online juga melibatkan Sistem Transaksi Elektronik. Tanpa sistem transaksi elektronik, pelaku judi online tidak akan dapat menjalankan permainan yang disediakan di Website Judi Online. Inilah yang dimaksud sebagai ekosistem bisnis yang menopang Judi Online.
Baca Juga : Sidang Polwan Bakar Suami, Briptu FN: Saya Hanya Menakutinya Saja
"Di dalam website judi online itu kan ada saldo elektroniknya, nah saldo elektronik ini harus dicek sistem emoney nya siapa, lalu saldonya diisi dengan cara top up, nah top upnya memakai apa, payment gateway atau apa. Lalu ketika uang ditarik dr saldo ke rekening bank itu juga harus dicek sistem transfer dananya siapa. Semua itu menggunakan sistem transaksi elektronik." Ujar Johan.
Untuk memberantas Judi Online, perspektif tindak pidana pencucian uang diperlukan sebagai tombak utama aparat penegak hukum.
"Jangan hanya Pemilik Website dan Pemain Judinya saja yang ditangkap, Polisi juga perlu follow the money. Telusuri aliran dananya, siapa-siapa saja yang terima keuntungan dari situ." jelasnya.
Baca Juga : Briptu FN, Polwan Polres Mojokerto yang Bakar Suami hingga Tewas Mulai Diadili
Lebih jauh, kata Johan bahwa di dunia fintech ada istilah yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengusaha sistem transaksi elektronik, istilah itu adalah "Black Merchant".
"Istilah black merchant itu sudah umum saya dengar di dunia fintech. Black Merchant ini sebutan bagi customer B2B yang menjalankan bisnis ilegal. Jadi di kalangan para pengusaha fintech, judi online ini sudah lama dikenal." Ujarnya
Oleh karena itu, Johan meminta kepada Bank Indonesia untuk mengaudit seluruh perusahaan fintech di Indonesia. Agar masyarakat juga mengetahui ada tidaknya perusahaan fintech yang menyalahgunakan izinnya untuk menopang transaksi judi online ini.
Baca Juga : Berkas P21, Polwan Bakar Suami di Mojokerto Segera Diadili
"Perlu diaudit semua itu perusahaan fintech, ada nggak merchant nya yang terindikasi Judi Online. Kalau ada, Bank Indonesia tidak boleh ragu untuk mencabut izinnya. Ini untuk memutus ekosistem yang selama ini menopang Kejahatan Judi Online," pungkasnya (*)
Editor : Bagus Setiawan