SURABAYA - Pembongkaran paksa yang dilakukan oknum aparat di pergudangan tritan points di Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, mendapat perhatian Perhimpunan Pedagang Pakaian Nusantara (P3N) Jawa Timur.
Rian Arifin, ketua P3N Jatim mengatakan pembongkaran secara sepihak tanpa surat telah menyalahi prosedur.
Pengacara muda ini, juga menegaskan akan ada upaya hukum atas pembongkaran yang dilaksanakan polisi secara paksa.
"Atas pembongkaran paksa ini, dalam waktu dekat akan kita bawa ke ranah hukum. Ini sekaligus guna mengetahui apakah Negara ini masih Negara Hukum apa sudah berubah Negara Kekuasaan?" tutupnya
Sementara itu, Antoni, salah satu pedagang menyesalkan adanya pembongkaran pergudangan tritan points.
"Harusnya, razia dilakukan secara persuasif dan sesuai prosedur hukum. Bukan bertindak sewenang-wenang atas nama penegak hukum," ujar Antoni saat memberikan keterangan di Surabaya, Jumat, (26/7/2024).
Antoni pun membeberkan, sebelumya kurang lebih ada 15 anggota oknum polisi yang datang ke lokasi. Selanjutnya, anggota melakukan penggeledahan di lokasi tanpa menunjukkan surat tugas penindakan.
“Mereka datang sekitar jam 18.00 WIB ke lokasi pergudangan Tritan points, oknum mengakunya dari Bareskrim mabes polri exus unit 4 dan datang sekitar kurang lebih 15 orang,” tambahnya.
Pembongkaran itu dilakukan dengan menggunakan linggis tanpa diketahui oleh pemilik dari gudang tersebut.
“Pembongkaran gudang secara paksa menggunakan linggis tanpa melihatkan surat tugas, dan melakukan penindakan tanpa diketahui pemilik gudang,” katanya.
Imbas dari pembongkaran gudang tersebut, pada akhirnya barang di gudang tritan points disita tanpa meninggalkan bukti atau surat penyitaan barang.
“Singkatnya akhirnya terjadi penyitaan barang sekitar 1700 bal, tanpa meninggalkan secarik kertas pun bukti penyitaan barang. Selesai jam 24.00 mereka langsung pergi saja, padahal sudah coba diminta surat tertinggal bukti penyitaan, tapi tidak diindahkan oleh mereka,” sambungnya.
Dengan kejadian ini, Antoni merasa dirugikan. Jika memang ada penindakan, harusnya yang ditertibkan itu di pintu-pintu masuk, di pelabuhan. Bukan di gudang pasar tempat pedagang menitipkan stok dagangannya.
Sementara di tempat yang sama, Pembina Pedagang Kecil Pribumi, Lukman Ladjoni, merasa tak habis dengan model oknum aparat yang sewena-sewena melakukan pembongkaran secara paksa tanpa ada surat resmi.
"Mereka (oknum polisi), membongkar gudang dan membawa barang. Tanpa ada surat, tanpa sepengetahuan pemilik, ini namanya perampokan," tegasnya.
Lukman Ladjoni juga mempertanyakan mengapa harus gudang yang berisi dagangan para pedagang kecil.
Harusnya, mereka melakukan penindakan pada hulu, dalam artian oknum bea cukai yang meloloskan barang tersebut.
Jika barang bekas tersebut adalah stok lama, lanjut Lukman Ladjoni, maka sesuai aturan pemerintah, stok lama itu tidak masalah untuk dihabiskan.
"Kalau itu stok baru, berarti yang harus ditindak adalah oknum di bea cukai yang meloloskan barang importir itu," tegasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, dengan kejadian tersebut, banyak oknum polisi yang tebang pilih dalam menindak suatu persoalan, dan terkesan menyudutkan masyarakat.
Lajoni juga menjelaskan, soal pakaian bekas merk import, harusnya pemerintah memberi wadah atau solusi untuk memberdayakan ekonomi masyarakat kelas menengah. Tidak, sekedar membuat aturan yang melemahkan para pedagang kecil.
"Pedagang kecil ini semua orang-orang pribumi, asli anak bangsa yang tidak pernah minta bantu atau dibantu pemerintah, Tapi kenapa pedagang kecil pribumi ini yang selalu jadi sasaran hukum. Ada apa ini? Menjadi sasaran pemerasan oleh oknum-oknum kepolisian. Padahal, saya mati-matian berusaha bekerja sama dengan BNPT dalam membina masyarakat kecil pribumi, agar tidak menjadi pengangguran yang mengakibatkan mudah terseret jadi radikal akibat kecemburuan sosial," bebernya.(Ayul Andhim)
Editor : M Fakhrurrozi