Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah adalah angin segar dalam iklim politik di daerah. Dengan keputusan tersebut, partai politik berkesempatan lebih besar mengajukan kandidat mereka sebagai calon kepala daerah. Ini menciptakan iklim kompetisi yang lebih terbuka dan beragam. Namun, di balik kesempatan ini, tantangan besar menanti terutama dalam mengelola kampanye yang efektif di tengah generasi pemilih yang didominasi oleh millenial dan Gen Z.
Tak terkecuali di Jawa Timur. Tiga calon Gubernur yang semuanya perempuan mencerminkan pergeseran yang menarik dalam lanskap politik. Sebuah keputusan dari partai politik yang tidak biasa, terlepas dari strategi politik berkaitan dengan petahana. Ini bukan sekadar pertarungan antar kandidat, melainkan juga simbol dari kebangkitan representasi perempuan dalam politik daerah. Dan di saat yang sama menunjukkan karakter pemilih di Jawa Timur yang terbuka. Ditambah dengan dominasi pemilih dari Generasi Z, iklim politik dan menjadi lebih kompleks lagi. Generasi Z ini dikenal dengan keterikatan mereka terhadap media digital, media sosial utamanya, dan teknologi digital, serta sikap kritis terhadap konten yang mereka konsumsi.
Menarik menggunakan pendekatan Two-Step Flow of Communication untuk mendedah kompleksitas politik di Jawa Timur ini. Menurut teori ini, informasi tidak langsung sampai ke publik melalui media, tetapi melalui KOL (key opinion leaders) yang menjadi penghubung, pemengaruh dan selebritis adalah salah satunya. Dalam konteks Jawa Timur, partai politik harus dapat memanfaatkan penghubung yang memiliki pengaruh kuat di kalangan Gen Z untuk menyampaikan pesan kampanye mereka. Tidak cukup hanya beriklan atau mengadakan pertemuan terbuka; partai politik perlu terhubung dengan penghubung yang sudah memiliki kepercayaan dari kelompok ini.
Namun, strategi ini tidak boleh diwarnai dengan kampanye negatif. Generasi Z dikenal sebagai kelompok yang peka terhadap manipulasi dan propaganda yang tidak jujur. Kampanye yang berlandaskan keburukan lawan politik justru dapat memicu apa yang disebut sebagai Spiral of Silence. Dalam teori ini, mereka yang memiliki pandangan berbeda dari mayoritas cenderung memilih diam daripada menyuarakan pendapat mereka. Kampanye negatif bisa membuat pemilih yang kritis merasa terasingkan, membuat mereka enggan berpartisipasi dalam diskusi politik atau bahkan dalam pemilihan itu sendiri.
Baca Juga : Jejak Rabu Pon di Balik Pengambilan Keputusan selama Pemerintahan Jokowi
Oleh karena itu, strategi kampanye yang positif dan mendidik menjadi sangat krusial. Tidak hanya dalam konteks pemilihan kepala daerah, namun merentang dalam jangka panjang. Partai politik harus mengedepankan visi, misi, dan program kerja yang jelas dan dapat dipahami oleh pemilih. Pesan kampanye harus disampaikan dengan cara yang kreatif -gimmick politik misalnya untuk memberikan asosiasi, namun tetap informatif, agar mampu mendidik sekaligus menginspirasi pemilih. Terutama Gen Z yang menyukai otentisitas dan integritas dalam setiap konten yang mereka jumpai.
Di penghujung kampanye ini, semua pemangku kepentingan, mulai dari partai politik, calon kepala daerah, hingga penghubung ini, memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga kualitas demokrasi. Kampanye positif tidak hanya akan membantu memenangkan hati pemilih, tetapi juga membangun kesadaran politik yang sehat dan berkelanjutan di masyarakat. Mari bersama-sama memastikan bahwa pemilihan kepala daerah ini menjadi ajang pendidikan politik yang membanggakan dan layak dicontoh bagi generasi mendatang.
Dengan demikian, tidak hanya kemenangan yang diraih, tetapi juga kepercayaan dan harapan baru bagi masa depan Jawa Timur. (*)
Baca Juga : Ricuh di Debat Perdana Pilkada Bojonegoro, KPU Terpaksa Hentikan Acara
*) Suko Widodo, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya
Editor : Iwan Iwe