Pemilihan kepala daerah menjadi momen penting bagi masyarakat dalam menentukan pemimpin masa depan daerahnya. Di Kabupaten Bojonegoro, pasangan calon nomor urut 1, Teguh Haryono dan Farida Hidayati, turut bertarung dalam Pilkada 2024. Namun, muncul pertanyaan besar terkait kelayakan intelektualitas pasangan ini, terutama setelah beberapa insiden kontroversial dalam proses kampanye, termasuk debat publik pertama yang seharusnya menjadi arena adu gagasan dan adu wawasan untuk menarik perhatian masyarakat Bojonegoro.
Pada debat yang diselenggarakan oleh KPUD Bojonegoro, paslon nomor urut 1 mendapat sorotan karena tidak mematuhi format yang telah disepakati. Menjelang debat, mereka secara mendadak meminta perubahan format, yang dinilai beberapa pihak sebagai indikasi ketidaksiapan menghadapi tantangan debat. Jika aturan debat saja mereka langgar, bagaimana nanti dengan aturan-aturan lainnya? Sikap ini menunjukkan kurangnya profesionalisme dan etika dalam menghormati kesepakatan yang telah dibuat bersama, mengingat format debat sudah diputuskan jauh sebelumnya oleh KPU dan semua pihak telah menandatangani berita acaranya.
Langkah Teguh dan Farida yang ingin mengubah format debat juga menunjukkan kurangnya kedewasaan politik. Di tengah persaingan politik yang ketat, debat adalah kesempatan emas untuk memperlihatkan visi dan misi yang komprehensif kepada masyarakat. Permintaan perubahan format yang mendadak justru memperlihatkan ketidaksiapan tim Paslon 1 dalam merespons dinamika di lapangan. Hal ini menjadi tanda tanya besar, terutama bagi masyarakat Bojonegoro yang berharap mendapat pemimpin dengan kapasitas intelektual tinggi serta kemampuan mengambil keputusan dalam situasi sulit.
Selain itu, isu politik uang juga menambah keraguan terhadap Paslon nomor urut 1. Meski sudah diatur tegas dalam regulasi KPU bahwa praktik ini dilarang, pemberitaan mengenai distribusi uang oleh tim kampanye Teguh-Farida kepada masyarakat Bojonegoro mengindikasikan potensi pelanggaran serius terhadap integritas pemilu. Isu ini sangat krusial, karena praktik politik uang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak nilai-nilai demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama calon pemimpin. Intelektualitas seorang pemimpin tidak hanya diukur dari kemampuan akademis atau gagasan yang diusungnya, tetapi juga dari sikapnya dalam menghadapi situasi sulit dan komitmennya dalam menghormati aturan.
Dalam konteks ini, perilaku Teguh Haryono dan Farida Hidayati selama masa kampanye, baik dalam debat maupun dalam dugaan politik uang, memberi kesan bahwa mereka belum menunjukkan kedewasaan intelektual yang memadai. Ketidakpatuhan terhadap aturan debat dan dugaan praktik politik uang menjadi cerminan rendahnya komitmen terhadap etika politik yang seharusnya dipegang teguh oleh seorang calon pemimpin.
Sebagai calon bupati dan wakil bupati, kemampuan untuk mengikuti aturan, berdebat secara sehat, dan menjaga integritas kampanye adalah kriteria penting yang harus dimiliki. Debat yang seharusnya menjadi ajang penyampaian program dan visi untuk Bojonegoro justru berubah menjadi arena konflik karena ketidaksiapan Paslon 1 dalam mengikuti format yang telah disepakati. Ini menimbulkan pertanyaan serius: jika dalam konteks debat saja paslon ini tidak bisa menghormati aturan, bagaimana mereka nanti memimpin pemerintahan daerah yang penuh dengan tantangan dan kompleksitas?
Di sisi lain, politik uang merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Sebuah pemilihan yang seharusnya ditentukan berdasarkan kualitas gagasan dan program kerja para kandidat menjadi terdistorsi oleh tawaran-tawaran finansial yang merusak kehendak bebas masyarakat. Apabila tuduhan ini terbukti benar, maka hal ini mencoreng proses demokrasi yang diharapkan bersih dan berintegritas. Masyarakat Bojonegoro tentu tidak ingin dipimpin oleh figur yang menghalalkan segala cara, termasuk melakukan tindakan yang mencederai tatanan demokrasi.
Kelayakan intelektual Paslon nomor urut 1, Teguh Haryono dan Farida Hidayati, memang patut dipertanyakan. Ketidakmampuan mereka mengikuti aturan debat, permintaan perubahan format yang mendadak, serta dugaan keterlibatan dalam politik uang, menimbulkan keraguan besar tentang apakah mereka benar-benar layak memimpin Bojonegoro. Masyarakat Bojonegoro berhak atas calon pemimpin yang tidak hanya mampu, tetapi juga berintegritas. Setiap pelanggaran terhadap aturan, sekecil apa pun, dapat merugikan kepercayaan yang telah dibangun. Mereka perlu segera melakukan refleksi untuk memperbaiki kesalahan, dan menunjukkan komitmen yang lebih kuat dalam mendukung proses demokrasi yang jujur dan terbuka.
Pilkada bukan hanya tentang siapa yang mampu menarik perhatian masyarakat melalui program-program populis, tetapi juga tentang siapa yang mampu menunjukkan kedewasaan intelektual dan integritas moral. Masyarakat Bojonegoro layak mendapatkan pemimpin yang benar-benar siap dan mampu menghadapi tantangan pembangunan daerah, bukan yang justru melanggar aturan dan merusak kepercayaan publik. (*)
*) Wahyu Purnomo, seorang mahasiswa UNESA, prodi S1 Ilmu Administrasi Negara. Berasal dari kota Santri yaitu Jombang, dengan hobi mendaki gunung.
Editor : Iwan Iwe