MALANG - Bila dunia barat punya aneka teori komunikasi mulai dari agenda setting, uses and gratifications, atau spiral of silence, maka Indonesia juga memiliki teori komunikasi sendiri.
Di tengah dominasi teori komunikasi barat yang sekian lama menjadi rujukan utama dalam dunia akademik, buku Komunikasi Perspektif Indonesia karya Rachmat Kriyantono hadir sebagai sebuah terobosan intelektual yang berani dan relevan.
Buku ini bukan sekadar kritik terhadap hegemoni teori asing, tetapi juga merupakan upaya sistematis membangun pondasi teori komunikasi yang berakar pada nilai-nilai budaya dan spiritual nusantara. Buku ini memandang cara berkomunikasi masyarakat Indonesia yang punya nilai tersendiri dan layak dijadikan teori.
Penulis mengangkat kegelisahan ini dan menawarkan alternatif berupa teori komunikasi berbasis kearifan lokal. Ia menyebutnya sebagai Komunikasi perspektif Nusantara, yaitu sebuah pendekatan yang tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif dan aplikatif.
Buku ini mengajak kita melihat komunikasi bukan sekadar proses teknis, tapi sebagai praktik sosial yang dipengaruhi nilai, budaya, dan spiritualitas. Adapun konsep-konsep lokal yang diangkat seperti pamali (larangan sosial), mikul duwur mendhem jeru (etika menghormati orang tua), dan blusukan (pendekatan langsung ke masyarakat) sebagai bentuk komunikasi khas Indonesia.
Juga memaparkan secara gamblang berbagai konsep itu dari sudut pandang ilmiah. Misalnya, blusukan diposisikan sebagai strategi komunikasi politik yang menekankan kedekatan emosional dan empati, yang berbeda dengan pendekatan formal ala Barat.
Salah satu gagasan paling kuat dalam buku ini adalah komunikasi transendental, yaitu komunikasi yang melibatkan nilai ketuhanan dan spiritualitas. Dalam masyarakat Indonesia yang religius, komunikasi tidak hanya soal menyampaikan pesan, tapi juga soal niat, etika, dan hubungan dengan Tuhan.
Buku tersebut juga secara khusus membahas bagaimana dakwah Islam disebarkan di wilayah nusantara. Bukan dengan cara keras atau memaksa, tapi lewat komunikasi yang halus dan penuh budaya. Proses penyebaran agama ini tidak hanya soal menyampaikan ajaran, tapi juga soal bagaimana ajaran itu bisa menyatu dengan budaya lokal. Inilah yang disebut sebagai akulturasi, yaitu percampuran dua budaya yang saling melengkapi.
Contoh nyata adalah komunikasi dakwah para wali zaman dulu yang berhasil karena pendekatannya cenderung lembut, adaptif, dan berbasis budaya. Ini bukan sekadar strategi, tapi bentuk komunikasi yang menghargai konteks lokal dan spiritualitas masyarakat. Sampai sekarang pun, cara beragama Islam di Indonesia masih banyak dipengaruhi oleh budaya lokal, seperti tradisi tahlilan, selametan, atau ziarah kubur.
Yang menarik, proses akulturasi ini dianggap sebagai pencapaian besar bangsa Indonesia. Kenapa? Karena saat Islam masuk, Nusantara sudah punya peradaban yang kuat, seperti Kerajaan Majapahit. Tapi alih-alih terjadi konflik, dakwah Islam justru berhasil masuk dengan damai, mengubah struktur sosial, dan akhirnya menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia.
Sedangkan wadah komunikasi juga dijabarkan salah satunya tradisi Megengan. Megengan adalah tradisi masyarakat Jawa menjelang Ramadan yang awalnya berasal dari budaya Hindu Majapahit, dikenal sebagai “Ruwahan”.
Tradisi ini digunakan untuk mengenang arwah leluhur dengan sesajen. Wali Songo kemudian mengislamisasi tradisi ini: doa-doa diganti dengan bacaan Islami, sesajen diganti dengan sedekah makanan halal. Megengan pun menjadi sarana dakwah yang lembut, menggabungkan nilai Islam dengan budaya lokal secara harmonis.
Penulis juga menekankan komunikasi itu seperti lem yang merekatkan hubungan sosial, maka budaya adalah lem yang merekatkan proses komunikasi itu sendiri. Artinya, budaya membuat komunikasi jadi lebih efektif dan harmonis, karena ia membawa nilai-nilai yang sudah dipahami bersama oleh masyarakat.
Lebih jauh lagi, budaya dijelaskan sebagai hasil dari “budi” atau akal manusia dalam menciptakan cara hidup. Budaya lahir dari kebiasaan yang terus dilakukan, lalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jadi, budaya bukan cuma tradisi, tapi juga cara kita beradaptasi, berinteraksi, dan memenuhi kebutuhan hidup.
Pentingnya dari buku ini adalah mengajak kita untuk tidak terus-menerus bergantung pada teori luar. Indonesia punya kekayaan budaya dan nilai yang bisa dijadikan dasar ilmu. Dengan pendekatan ini, komunikasi tidak lagi bersifat universal dan netral, tapi kontekstual dan bermakna.
Secara akademik, buku ini juga membuka ruang bagi pengembangan teori komunikasi berbasis lokal yang bisa bersaing di tingkat global. Ini sejalan dengan gerakan dekolonisasi ilmu pengetahuan yang kini makin kuat di berbagai negara berkembang.
Dengan gaya penulisan yang cukup komunikatif dan tidak terlalu berat, sangat cocok untuk mahasiswa, dosen, praktisi komunikasi, dan pembaca umum yang ingin memahami komunikasi dari sudut pandang yang lebih “Indonesia banget”.
Komunikasi Perspektif Indonesia bukan hanya buku teori, tapi juga ajakan untuk percaya diri dengan cara kita sendiri. Bahwa komunikasi ala Indonesia,yang penuh sopan santun, spiritualitas, dan empati, layak dijadikan rujukan ilmiah. Buku ini memberi kita alat untuk memahami dan menjelaskan praktik komunikasi yang selama ini kita jalani, tapi belum disadari sebagai teori.
Verry Firmansyah Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang
Editor : M Fakhrurrozi