SURABAYA - Kampanye pendidikan gratis yang selalu disampaikan Calon Gubernur Tri Rismaharini mendapat sorotan pengamat pendidikan Prof. Warsono.
Menurut Prof Warsono, tidak etis jika pendidikan dijadikan alat politik.
"Tidak etis menjadikan pendidikan sebagai alat politik. Selain itu, tidak bisa dibandingkan realisasi program dilingkup Kota dengan Provinsi. Mengingat pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih tinggi kota Surabaya dibanding Provinsi Jawa Timur yang terbagi dari 38 kab/kota," ujarnya.
Prof Warsono juga menyebut Kota Surabaya tidak bisa dijadikan indikator keberhasilan program jika diterapkan di Provinsi.Jawa Timur.
Baca Juga : Kolaborasi Jatim dan Australia Barat: Tingkatkan Layanan Autisme Melalui Pelatihan dan Workshop
(Tidak bisa disamakan ya). Surabaya besar pendapatan, jumlah penduduk tidak sebanyak Jatim. Sementara Jatim pendapatan besar, jumlah penduduk pun juga cukup besar, wilayah tersebar meluas. PAD Surabaya mungkin cukup untuk pendidikan gratis kota Surabaya, karena pendapatan besar. Jumlah penduduk pun tidak lebih besar dari Jatim. Sementara PAD kita ini untuk yang lain. Tidak hanya pendidikan saja. Ada sektor-sektor lain juga yang jadi fokus utama. Katakanlah kalau dipakai pendidikan saja ini cukup. Tapi bagaimana untuk sektor lain apa ya gak butuh pembangunan?," terang Warsono, Kamis (24/10/2024).
Diakui Prof Warsono APBD Surabaya cukup tinggi. Ini terlihat dari kesejahteraan remun, dan tunjangan kinerja (tukin) pegawai. Di mana remun dan tukin pegawai Pemkot Surabaya lebih besar dibanding provinsi. Warsono juga mencontohkan besaran APBD kab/kota lain lebih kecil dibanding Surabaya. Karena pendapatan yang lebih kecil. Karenanya, ia menilai jika sulit menjadikan Surabaya sebagai indikator dalam keberhasilan program.
Baca Juga : Kalaksa BPBD Jatim: Pembangunan Hunian Terdampak Banjir di Banyuwangi Capai 70 Persen
"Kalau Surabaya ini diasumsikan sebagai sampel (pelaksanaan) program ini tidak bisa. Karena memang berbeda. Tidak bisa dibandingkan dengan besarnya cakupan di Provinsi," jabar Prof Warsono.
Dibanding berbicara soal pendidikan gratis, kata Prof Warsono sebaiknya fokus pada penyelenggaraan pendidikan bermutu dan terjangkau oleh lapisan masyarakat. Pasalnya pendidikan menjadi kewajiban pemerintah. Dan rakyat punya hak untuk berpartisipasi dalam biaya pendidikan dan ini sudah dijamin dalam undang-undang.
"Janganlah pendidikan dipolitisir. Jangan sampai pengalaman kemarin di terminologi pendidikan gratis membuat sekolah mengeluh. Bolehlah gratis tapi untuk yang miskin. Sedangkan bagi yang mampu tetap bisa berkontribusi. Karena anggaran pendidikan tidak cukup dalam menunjang mutu pendidikan jika semuanya digratiskan. Termasuk memfasilitasi kegiatan ekstrakulikulee siswa. Jadi saya sedih jika pendidikan dijadikan alat kampanye," ungkap pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pendidikan Jatim ini.
Baca Juga : 72 Inovasi Masuk Top 99, Jatim Jadi Provinsi Terinovatif Se-Indonesia
Menurut Prof Warsono, terminologi gratis ini harus detail. Apakah untuk siswa negeri dan swasta, atau hanya negeri saja. Karena komponen biaya pendidikan itu banyak, termasuk uang saku, transportasi dan biaya operasional serta investasi.
Jika yang dibebaskan adalah biaya yang merupakan kontribusi siswa atau orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan, Warsono mempertanyakan peran pemerintah dalam mencukupi seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan dengan standar mutu yang baik. Sebab, kualitas atau mutu pendidikan berkorelasi dengan biaya pendidikan.
"Pengalaman kemarin sekolah mengeluh gak bisa lagi mengambil pungutan dan dianggap melanggar. Sementara tidak mengambil partisipasinya dari masyarakat rupanya anggaran yang diterima tidak cukup menutupi seluruh biaya operasional. Kami berharap pendidikan gratis jangan dipakai karena akan menipu rakyat," tegas Warsono.
Baca Juga : Pj Gubernur Jatim Salurkan Bantuan Sosial Bagi PPKS di Kota Malang
Sejauh ini, lanjut Warsono pemerintah sudah menyediakan berbagai bantuan pembiayaan pendidikan. Mulai BOS, BOSDA Madin dan BPOPP. Meskipun begitu, masih ada sekolah kekurangan dana untuk pendidikan bermutu.
Sementara itu, dalam hal peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Pendidikan Jatim telah melakukannya.
Baca Juga : Sukseskan Pilkada Serentak 2024, Pemprov Jatim Gelar Jambore dan Apel Siaga Satlinmas
"Ini bisa terlihat dari berbagai program bantuan seperti Pelaksanaan Bantuan Operasional Sekolah Daerah untuk Madrasah Diniyah (BOSDA MADIN), yang dilaksanakan dalam bentuk Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan Diniyah dan Guru Swasta (BPPDGS)," terangnya.
Program BPPDGS, lanjutnya, digagas, lantaran Madin telah memberikan kontribusi besar dalam rangka meningkatkan keimanan dan kecerdasan bangsa.
Program BOSDA MADIN sendiri telah dicetuskan oleh Pemprov Jatim sejak tahun 2010 bersama pemkab/pemkot se Jawa Timur. Program ini digagas untuk meringankan serta mengurangi beban orang tua dalam membiayai pendidikan santri,warga belajar, siswa khususnya dari keluarga miskin di Provinsi Jawa Timur untuk memperoleh pendidikan.
Sementara sumber dana pelaksanaan program Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan Diniyah dan Guru Swasta (BPPDGS), (sebelumnya Bosda Madin, red) berasal dari sharing dana antara pemprov Jatim dan Pemerintah Kabupaten/Kota se Jawa Timur.
Adapun besaran pagu Bantuan Keuangan Khusus Provinsi Jawa Timur diantaranya untuk BPPDGS (Bosda Madin) Rp. 200.456.190.000, ke 38 Kabupaten Kota (untuk 6 bulan Pembayaran). Selanjutnya Pendidikan Kesetaraan Vokasi sebesar Rp. 4.999.500.000, ke 11 Kabupaten IPM rendah di Jawa Timur. Serta honorarium kinerja sebesar Rp. 19.368.000.000.
Selain BOSDA MADIN, Pemprov Jatim juga membuat terobosan dalam peningkatan kualitas pendidikan. Yakni melalui Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP). Dalam program ini SPP Gratis. Pembayaran SPP digantikan dari dana APBD BPOPP.
Program BPOPP sudah berjalan sejak 2019. Di mana SMA/SMK Negeri tidak diperkenankan memungut rupiah sepeser pun dari siswa. Sedangkan untuk SMA/SMK Swasta bersifat Subsidi.
Adapun besaran anggaran BPOPP yang teralokasikan di tahun 2019 sebanyak Rp. 915.855.706.000; tahun 2020 Rp. 1.440.737.344.250; tahun 2021 Rp. 882.426.190.000 ; tahun 2022 Rp. 1.245.083.560.000; tahun 2023 Rp. 1.248.982.595.000 ; dan tahun 2024 sebanyak Rp. 1.383.025.275.000.
Editor : M Fakhrurrozi