BLITAR - Di Desa Ngoran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Ibu Lut (57) masih setia memproduksi gula kelapa menggunakan metode tradisional. Meski tantangan semakin berat, seperti menipisnya bahan baku nira kelapa dan sulitnya mencari tenaga pemanjat pohon kelapa, ibu tiga anak ini tetap melanjutkan usaha yang sudah digelutinya selama lebih dari tiga dekade.
Setiap hari, Ibu Lut menggunakan tungku kayu bakar untuk merebus nira kelapa. Proses perebusan ini memakan waktu hingga tujuh jam, mulai dari pukul 7 pagi hingga pukul 2 siang. Dengan ketelatenan, air nira yang encer perlahan berubah menjadi batang-batang gula kelapa padat.
“Awalnya saya hanya ingin mencari hasil saja dari produksi gula kelapa. Dulu banyak yang memproduksi, tapi sekarang makin berkurang karena sulit mencari orang. Hanya tersisa 10 orang yang masih membuat gula kelapa,” ujar Ibu Lut.
Ia mewarisi keterampilan ini dari orang tuanya dan kini memiliki sekitar 20 pohon kelapa yang aktif memproduksi nira.
Namun, produksi gula kelapa kini hanya bisa dilakukan setiap delapan hari sekali, disebabkan oleh keterbatasan tenaga pemanjat kelapa untuk menderek nira dari pohon.
Para pemilik pohon kelapa harus berbagi nira dengan para pemanjat, yang biasanya menerima upah berupa sebagian dari nira kelapa itu sendiri.
Dalam satu kali produksi, Ibu Lut mampu menghasilkan sekitar 15 kilogram gula kelapa. Gula yang dihasilkan dijual kepada pengepul dengan harga Rp18.000 per kilogram.
Meskipun menghadapi banyak kesulitan, dedikasi Ibu Lut dalam menjaga kelangsungan tradisi pembuatan gula kelapa menjadi contoh betapa berartinya usaha ini, baik sebagai sumber penghidupan maupun pelestarian budaya lokal. (Qithfirul Aziz/Dhelfia Ayu)
Editor : Iwan Iwe