Hepatitis adalah keradangan pada hati yang bisa disebabkan karena faktor infeksi maupun non-infeksi. Hepatitis paling sering disebabkan karena infeksi virus hepatotropik, yang seringkali kita kenal sebagai virus Hepatisis A, B, C, D, dan E. Hepatitis A dan E dapat menyebabkan gejala yang akut pada anak seperti demam, mual, muntah, kuning, tidak nafsu makan, nyeri perut, diare, dll namun sebagian besar akan sembuh. Hanya sebagian kecil kasus infeksi virus hepatitis A dan E yang menyebabkan kegagalan hati. Lalu, manakah hepatitis yang perlu diwaspadai dan masih menjadi masalah di masyarakat hingga saat ini?
Hepatitis B, the silent killer! Hepatitis B pada anak pada umumnya tidak bergejala. Namun, sebagian besar anak yang menderita hepatitis B mendapatkan penularan virus hepatitis B dari ibunya (transmisi vertical). Ibu hamil yang menderita hepatitis B (HbsAg positif) dapat menularkan virus hepatitis B ke bayinya dan menyebabkan hepatitis B kronis pada anak di kemudian hari. Lebih dari 95% bayi yang mendapatkan penularan hepatitis B dari ibunya akan membawa virusnya di dalam sel hatinya seumur hidup dan menjadi kronis. Tidak ada keluhan yang dirasakan, namun anak dapat menderita kanker hati dan sirosis hati pada saat menginjak dewasa jika terkena hepatitis B kronis.
Saat ini, program pemberian immunoglobulin hepatitis B (HBIG) dan vaksin hepatitis B pada bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis B sudah dilakukan di Indonesia dan berhasil menurunkan angka penularan hepatitis B secara vertikal. Namun demikian, kasus anak dengan kanker hati yang kemudian diketahui menderita hepatitis B masih saja ditemukan. Hingga saat ini belum ada pengobatan yang berhasil membersihkan virus hepatitis B di dalam tubuh anak dengan hepatitis B kronis, walaupun diberikan obat anti-virus sekalipun. Pencegahan penularan dengan pemberian HBIG dan vaksinasi hepatitis B sesuai jadwal pada bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg positif diikuti dengan pemantauan status hepatitis B pada anak setelah selesai serial vaksinasi hepatitis B tersebut adalah hal yang harus dilakukan. Walaupun demikian, jika penularan virus hepatitis B telah terjadi di dalam kandungan, maka anak masih tetap bisa menderita hepatitis B kronis. Oleh karena itu, ibu hamil dengan HbsAg positif disarankan melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter spesialis penyakit dalam untuk memastikan resiko penularan secara vertikal.
Anak dengan hepatitis B kronis pada umumnya tidak mengeluhkan gejala apapun. Tak jarang orang tua menganggap bahwa tidak perlu memeriksakan status HbsAg pada anak tersebut. Edukasi di masyarakat masih perlu ditingkatkan agar kita dapat menekan sedini mungkin komplikasi kanker hati dan sirosis hati yang dapat terjadi kapanpun pada anak dengan hepatitis B kronis, salah satunya dengan melakukan pemantauan secara rutin fungsi hati pada anak walaupun tidak memiliki gejala.
Saat ini, keberhasilan pengobatan hepatitis B masih rendah. Oleh karena itu, pencegahan agar jangan sampai anak tertular hepatitis B perlu dilakukan. Pemberian HBIG sebelum usia 12 jam kelahiran dan vaksinasi hepatitis B diberikan pada bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis B. Tak lupa dilanjutkan booster vaksinasi hepatitis B sesuai jadwal. Setelah itu, jangan lupa periksakan secara berkala status hepatitis B (HbsAg) pada anak dengan melakukan pemeriksaan darah. Jangan takut membawa anak ke fasilitas kesehatan untuk memastikan kondisi infeksi hepatitis B demi masa depan generasi muda!
Mari putuskan rantai penularan hepatitis B pada bayi dan anak, save our children! (*)
*) Dr. dr. Bagus Setyoboedi, SpA(K)
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr Soetomo – FK UNAIR, Surabaya
Editor : Iwan Iwe