Ekonomi UMKM Budaya
Komunitas Tionghoa telah menjadi bagian penting dari denyut nadi perekonomian Indonesia sejak berabad-abad lalu. Kehadiran mereka di pelabuhan-pelabuhan besar Jawa dan Bali, mulai dari Semarang, Surabaya, hingga Singaraja, bukan hanya sekadar kisah perdagangan, melainkan juga kisah bagaimana nilai-nilai etika bisnis Tionghoa berakulturasi dengan budaya lokal.
Akar Etika: Dari Konfusianisme ke Nusantara
Etika bisnis Tionghoa banyak dipengaruhi ajaran Konfusianisme, terutama tiga prinsip kunci:
Pertama, Guanxi (关系) atau jaringan relasi. Bisnis bukan sekadar transaksi, melainkan jejaring kepercayaan. Di Jawa, konsep ini bertemu dengan falsafah tepo seliro (tenggang rasa), sedangkan di Bali berpadu dengan menyama braya (persaudaraan).
Kedua, Xin (信) atau reputasi dan kejujuran. Harga diri ditentukan oleh ucapan dan komitmen. Hal ini sejalan dengan pepatah Jawa ajining diri ana ing lathi (harga diri ada di ucapan).
Ketiga, Hemat dan kerja keras. Keuntungan diputar kembali, bukan dihabiskan. Nilai ini dekat dengan falsafah Jawa eling lan waspada dan filosofi Bali tatwam asi yang menekankan harmoni dalam pengelolaan sumber daya.
Tidak ketinggalan, model bisnis keluarga menjadi fondasi awal usaha. Loyalitas internal menjadi penguat, meski belakangan generasi muda lebih membuka diri terhadap kolaborasi lintas etnis dan digitalisasi.
Wajah Etika dalam Praktik
Di Jawa, etika ini tampak nyata dalam geliat kota besar antara lain Kota Semarang dikenal dengan Lumpia, simbol akulturasi kuliner Tionghoa dan lokal. Kemudian di Surabaya tumbuh sebagai pusat grosir dan manufaktur, dikuatkan oleh jejaring distribusi Tionghoa.
Namun tak hanya di Pulau Jawa. Di Bali, pengusaha Tionghoa mengembangkan perdagangan emas, tekstil, hingga pariwisata. Bahkan, banyak yang ikut dalam upacara adat atau membangun pura keluarga sebagai wujud integrasi sosial.
Tantangan dan Dinamika
Namun, jalan yang ditempuh tidak selalu mulus. Pada era Orde Baru, ekspresi budaya Tionghoa sempat dibatasi, mendorong banyak pengusaha untuk beradaptasi dengan nama atau identitas lokal. Stereotip eksklusivitas juga kerap dilekatkan, terutama terkait guanxi yang dianggap “tertutup”. Kini, generasi muda hadir dengan wajah baru: terbuka, digital, dan kolaboratif.
Pelajaran dari Etika Tionghoa
Dari praktik panjang ini, ada pelajaran berharga bagi dunia bisnis Indonesia:
Bangun kepercayaan melalui relasi. Modal sosial sama pentingnya dengan modal finansial.
Utamakan reputasi. Komitmen jangka panjang lebih berharga ketimbang keuntungan instan.
Hidup sederhana, reinvestasi hasil. Keberlanjutan bisnis bergantung pada visi panjang, bukan konsumsi sesaat.
Beradaptasi dengan lokalitas. Harmoni dengan budaya sekitar adalah kunci keberlangsungan.
Etika bisnis Tionghoa di Jawa dan Bali adalah kisah harmoni lintas budaya yang bertahan hingga kini. Ia mengajarkan bahwa kesuksesan ekonomi tidak hanya lahir dari strategi pasar, tetapi juga dari kepercayaan, reputasi, dan kemampuan beradaptasi dengan nilai-nilai lokal. Sebuah warisan yang relevan, bahkan di era digital yang serba cepat.
*) Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy SE.MM, Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Praktisi Keuangan, Penggerak Literasi
Editor : Iwan Iwe