Fenomena “S-Line” tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Tren ini menampilkan foto atau video dengan garis merah melayang di atas kepala seseorang, terinspirasi dari drama Korea "S-Line" . Dalam cerita drama tersebut, garis merah melambangkan jumlah pengalaman hubungan intim seseorang dan dapat terhubung dengan orang lain yang pernah menjalin relasi khusus.
Tren ini kemudian menyebar cepat di platform seperti TikTok, Instagram, hingga X (Twitter). Banyak warganet memanfaatkan aplikasi editing maupun filter untuk membuat konten parodi, meme, hingga hiburan ringan. Namun, viralnya fenomena ini juga menimbulkan perdebatan soal privasi, etika, dan stigma sosial.
Lalu, bagaimana sosiologi melihat fenomena ini?
Baca Juga : Permintaan Tinggi, Bisnis Ikan Hias di Kediri Masih Menjanjikan
Dari perspektif sosiologi, tren “S-Line” mencerminkan bagaimana budaya populer membentuk perilaku kolektif di ruang digital. Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya "The Social Construction of Reality"(1966), realitas sosial terbentuk melalui proses konstruksi bersama. Garis merah dalam tren ini berfungsi sebagai simbol baru yang dimaknai secara kolektif, meski berasal dari karya fiksi.
Selain itu, fenomena ini juga bisa dipahami melalui teori labelling dari Howard Becker dalam Outsiders: Studies in the Sociology of Deviance (1963). Dalam teori tersebut, seseorang bisa mendapat stigma sosial hanya karena label atau simbol tertentu. Garis merah “S-Line” dapat dipersepsikan sebagai “label moral” yang menimbulkan penilaian masyarakat, meskipun faktanya tidak merefleksikan kehidupan pribadi seseorang.
Perspektif lain datang dari Erving Goffman melalui konsep dramaturgi dalam bukunya "The Presentation of Self in Everyday Life" (1959). Media sosial sering kali menjadi “panggung depan” di mana individu menampilkan identitas yang bisa dikontrol. Tren “S-Line” menyoroti bagaimana visualisasi simbolik dapat memengaruhi “performa sosial” seseorang, bahkan ketika bersifat fiktif.
Baca Juga : Ketika Hacker Jadi Penyelamat, Bukan Penjahat
Terus mengapa menjadi Pro-Kontra di Masyarakat?
Sebagian warganet menganggap tren ini sekadar hiburan kreatif. Namun, ada pula yang menilai tren ini bisa berdampak serius terhadap generasi muda yang rentan membentuk identitas sosial berdasarkan standar populer. Menurut Émile Durkheim dalam "The Rules of Sociological Method" (1895), norma sosial berfungsi sebagai perekat masyarakat. Bila tren seperti “S-Line” melemahkan rasa malu sebagai salah satu norma sosial, maka masyarakat bisa mengalami perubahan nilai yang cukup signifikan.
Meski menuai pro-kontra, tren “S-Line” masih terus berseliweran di linimasa. Fenomena ini bukan sekadar efek visual, tetapi juga cerminan bagaimana media sosial membentuk simbol, norma, dan stigma baru dalam interaksi sosial masyarakat modern. (Fadillah Putri Pri Utari)
Baca Juga : Fenomena Tiga Warna Ramaikan Media Sosial, Jadi Simbol Solidaritas dan Perlawanan
Baca Juga : Viral di Media Sosial 17+8 Tuntutan Rakyat Berisi Desakan ke Pemerintah, Ini Daftar Lengkapnya
Editor : M Fakhrurrozi