Ketidakpuasan terhadap pelayanan publik, khususnya di bidang kesehatan, sering kali menjadi perhatian utama masyarakat. Salah satu faktor yang berkontribusi signifikan adalah gratifikasi, yaitu tindakan memberikan imbalan kepada tenaga medis untuk memperoleh pelayanan lebih baik atau lebih cepat. Praktik ini tidak hanya melanggar etika tetapi juga berpotensi merusak integritas pelayanan kesehatan.
Gratifikasi dalam pelayanan kesehatan menyebabkan berbagai dampak negatif, seperti penurunan kualitas pelayanan. Tenaga medis mungkin lebih memprioritaskan pasien yang memberi imbalan, mengakibatkan ketidakadilan. Pelayanan yang seharusnya berorientasi pada kebutuhan pasien berdasarkan standar medis sering kali terganggu. Selain itu, gratifikasi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit, meskipun terdapat slogan seperti "Tolak Gratifikasi" yang terpampang di berbagai sudut ruangan.
Pengalaman pribadi penulis mengilustrasikan dampak nyata dari praktik ini. Ketika mengantarkan ayahnya untuk kontrol di sebuah rumah sakit besar, ia menyaksikan pasien tertentu mendapatkan prioritas hanya karena memiliki hubungan personal dengan tenaga medis atau memberikan gratifikasi. Hal ini menyebabkan ketidakadilan bagi pasien lain yang telah menunggu lebih lama. Kondisi seperti ini menunjukkan lemahnya integritas dan transparansi dalam pelayanan.
Masalah gratifikasi juga mencerminkan patologi birokrasi, di mana fungsi birokrasi gagal akibat praktik korupsi dan ketidaktransparanan. Ketidakpuasan ini memerlukan solusi konkret. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Edukasi dan Sosialisasi: Memberikan pemahaman mendalam kepada tenaga medis dan staf rumah sakit tentang gratifikasi melalui pelatihan dan orientasi pegawai baru.
- Pengawasan Internal: Meningkatkan pengawasan terhadap praktik gratifikasi dengan melibatkan lembaga anti-korupsi.
- Transparansi Proses: Menerapkan sistem yang transparan untuk antrian dan pelayanan pasien.
- Penegakan Sanksi: Memberikan hukuman yang tegas kepada tenaga medis yang terlibat dalam praktik gratifikasi sesuai dengan Pasal 12B(2) UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2021, yang mencakup pidana penjara hingga denda.
Menghapus gratifikasi bukan hanya upaya perbaikan etika, tetapi juga langkah penting menuju pelayanan kesehatan yang lebih adil dan responsif. Rumah sakit perlu menanamkan nilai profesionalisme dan akuntabilitas, sehingga mampu menciptakan pengalaman positif bagi pasien. Dengan membangun sistem yang adil dan berorientasi pada kebutuhan pasien, kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik dapat pulih, menjadikan kesehatan sebagai prioritas bersama yang setara bagi semua pihak. (*)