Dalam era modern yang berpacu dengan teknologi, Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, dikenal karena kecerdasan dan pendekatan logis mereka dalam memecahkan masalah yang kompleks. Mereka memiliki kemahiran luar biasa dalam memanfaatkan teknologi, unggul dalam mengumpulkan informasi, dan sering memimpin dalam berfikir kritis. Meskipun demikian, kecenderungan terhadap rasionalitas ini memiliki sisi gelap yang jarang dibahas. Dalam pemahaman logika dan efisiensi, Gen Z sering kali mengabaikan aspek filosofis dan introspektif dari kehidupan, yang dapat berkontribusi pada tantangan kesehatan mental mereka. Artikel ini akan membahas bagaimana fokus yang berlebihan pada logika, jika tidak dilengkapi dengan filosofi hidup yang bijaksana, dapat berdampak buruk pada kesejahteraan mental Gen Z.
Dibesarkan dalam lingkungan dengan akses informasi yang sangat cepat, Generasi Z telah mengembangkan pendekatan unik dalam memecahkan masalah. Kemampuan mereka untuk mengakses pengetahuan dan data secara instan memungkinkan mereka mengatasi tantangan dengan efisien dan rasional. Kapasitas berpikir kritis dan logis ini memberdayakan mereka untuk memproses informasi dengan cepat, merancang solusi praktis, dan membuat keputusan berdasarkan fakta. Baik itu berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan, atau kemajuan teknologi, kecenderungan terhadap penalaran logis ini berfungsi sebagai aset yang luar biasa.
Namun, masalah muncul ketika pendekatan rasional ini diterapkan berlebihan dalam kehidupan. Hidup tidak selalu bisa disikapi hanya melalui cara-cara yang formal atau praktis. Kehidupan sering kali memerlukan perenungan yang lebih mendalam tentang makna, nilai, dan tujuannya. Sayangnya, banyak dari mereka, dalam upaya mencari solusi cepat dan tepat, mengabaikan aspek filosofis ini. Filsafat bukan hanya tentang pemikiran rumit dan teoritis, melainkan pencarian makna dalam kehidupan sehari-hari, penyelidikan tentang keberadaan, tujuan, dan nilai-nilai fundamental yang memandu tindakan seseorang. Ketika Generasi Z terlalu menekankan logika dan rasionalitas, mereka cenderung mengabaikan pentingnya perenungan filosofis. Dalam kesibukan hidup sehari-hari dan tekanan produktivitas, pertanyaan-pertanyaan seperti "Apa tujuan hidup saya?" atau "Apa yang benar-benar membuat saya bahagia?" sering kali terabaikan.
Ketika seseorang tidak bisa merefleksikan makna dan tujuan hidup, ia mungkin merasa tersesat. Hal ini dapat menimbulkan perasaan hampa, kehilangan motivasi, dan pada akhirnya berdampak buruk pada kesehatan mental. Dalam budaya yang mengutamakan pencapaian dan produktivitas, banyak Gen Z yang merasa terjebak dalam siklus pemuasan kebutuhan eksternal tanpa meluangkan waktu untuk merenungkan pemenuhan batin dan kebahagiaan jangka panjang. Kurangnya refleksi filosofis dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan, depresi, dan perasaan hampa. Gen Z dikenal sebagai generasi yang lebih terbuka dalam berbicara tentang kesehatan mental, namun mereka juga menghadapi tantangan lebih besar terkait stres emosional dan psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa Gen Z mengalami peningkatan tingkat kecemasan dan depresi, sebagian besar disebabkan oleh tekanan untuk selalu “produktif” dan hilangnya tujuan hidup yang mendalam.
Baca Juga : Ubhara Surabaya Ajak Gen Z Lebih Peduli Pilkada 2024
Pemikiran yang logis tanpa diimbangi dengan filosofis dapat menyebabkan tekanan mental yang tidak perlu. Misalnya, ketika seseorang hanya fokus pada hasil atau pencapaian yang terukur, ia mungkin merasa gagal jika tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Dalam hal ini, filosofi hidup yang lebih reflektif dapat membantu seseorang memahami bahwa kegagalan bukanlah akhir segalanya, melainkan bagian dari perjalanan yang lebih besar untuk menemukan makna hidup.
Selain itu, pemikiran logis biasanya berfokus pada "apa" dan "bagaimana", sedangkan filsafat lebih menekankan pada "mengapa". Tanpa menjawab pertanyaan "mengapa", orang bisa kehilangan pemahaman mendalam atas tindakan mereka, sehingga menimbulkan perasaan hampa atau tidak puas meskipun mereka tampak berhasil di permukaan.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi kehidupan Generasi Z adalah teknologi, yang berperan penting dalam memperkuat pemikiran logis tersebut. Media sosial, mesin pencari, dan alat digital lainnya mendorong mereka untuk berpikir dalam kerangka logis yang sempit: masukan menghasilkan keluaran. Misalnya, di media sosial, konten yang diunggah seseorang dapat langsung diapresiasi melalui jumlah "suka" atau "bagikan". Meskipun ini merupakan bentuk validasi instan, proses ini sering mengabaikan kedalaman dan makna pengalaman manusia yang sebenarnya. Teknologi, meskipun sangat berguna, juga dapat menghilangkan kebutuhan untuk merenungkan atau bertanya tentang nilai-nilai di balik tindakan seseorang. Fokusnya adalah pada hasil yang cepat dan efektif, bukan pada kebijaksanaan atau pemahaman yang lebih dalam tentang diri Anda sendiri. Oleh karena itu, peran teknologi dalam memperkuat kecenderungan berpikir logis perlu diseimbangkan dengan refleksi filosofis.
Baca Juga : Tren Media Sosial Favorit Gen Z dan Milenial Indonesia 2024, Apa Paling Disukai?
Untuk menghadapi tantangan ini, Gen Z perlu berusaha menyeimbangkan logika dan filosofi. Berikut beberapa cara untuk mencapainya:
1. Luangkan waktu untuk refleksi: Di tengah jadwal sibuk mereka, penting bagi Gen Z untuk meluangkan waktu untuk merenungkan makna hidup, nilai-nilai pribadi, dan tujuan jangka panjang. Ini bisa berupa meditasi, membuat jurnal, atau bahkan mendiskusikan masalah kehidupan yang lebih dalam dengan teman-teman.
2. Mempelajari filsafat dasar: Pengenalan ide-ide filosofis, seperti Stoicisme, eksistensialisme, atau pemikiran Timur, dapat membantu seseorang memperoleh perspektif kehidupan yang lebih luas. Hal ini tidak harus dilakukan secara akademis, namun bisa berupa kajian santai tentang bagaimana para filsuf memandang makna dan tujuan hidup.
Baca Juga : Ragam Estetika: Menyelami Tren Fashion yang Tengah Populer di Kalangan Milenial dan Gen Z
3. Menghargai proses, bukan hanya hasil: Terlalu fokus pada hasil membuat seseorang mengabaikan proses. Dengan berfokus pada pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama proses, seseorang dapat menemukan makna yang lebih dalam dan meredakan kecemasan terhadap pencapaian.
4. Memahami bahwa gagal adalah bagian dari kehidupan: Pemikiran filosofis mengajarkan bahwa hidup penuh dengan ketidakpastian dan perubahan yang dinamis. Dengan menerima kenyataan bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan, seseorang akan lebih mudah menerima kekurangan dan bangkit dari rasa cemas berlebihan.
Generasi Z adalah generasi yang cerdas dan logis, namun karena fokus mereka pada pemikiran rasional dan efisiensi, mereka mungkin mengabaikan dimensi filosofis penting dalam kehidupan. Keseimbangan antara logika dan filosofi sangat penting untuk menjaga kesehatan mental yang baik. Dengan menciptakan ruang untuk refleksi, mencari makna yang lebih dalam, dan menghargai proses, Gen Z dapat mengatasi tantangan-tantangan kehidupan dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna serta memuaskan. Pada akhirnya, logika dan filsafat harus bergerak maju berdampingan, bukan sebagai dua kutub yang berlawanan, melainkan sebagai dua aspek yang saling melengkapi dalam perjalanan manusia untuk menemukan tujuan hidup yang harmonis.(*)
Baca Juga : Ingin Financial Freedom di Usia Muda? Ini Strategi Cerdasnya!
*) Muh Rizal Khoirudin, mahasiswa UNESA dengan minat mendalam dalam penulisan ilmiah, public speaking, dan berdiskusi. Saat ini, ia menjabat sebagai duta fakultas, berkomitmen menjadi role model yang inspiratif bagi kampusnya. Dengan semangat yang tinggi, ia ingin menjadi agen perubahan melalui berbagai inovasi dan gebrakan di bidang sosial.
Kirim tulisan Anda dan sertakan data diri sepeti nama, alamat, nama kampus, dan bio singkat ke email: portal@jtv.co.id minimal 300 kata.
Baca Juga : Cagub Risma Dorong Gen-Z untuk Berwirausaha dan Ciptakan Lapangan Kerja
Editor : Iwan Iwe