SURABAYA - Polda Jatim berhasil menangkap pelaku kerusuhan yang terjadi pada 29–31 Agustus 2025 di Surabaya. Sebanyak 315 pelaku diamankan, 9 orang diantaranya pembakar Gedung Negara Grahadi.
Dari 9 orang pelaku, 8 masih anak-anak. Satu tersangka dewasa adalah AEP (20), warga asal Maluku Tengah yang berdomisili di Sidoarjo.
AEP berperan membuat lima bom molotov dari botol bir bersama empat pelaku ABH, sekaligus menjadi eksekutor pelemparan ke arah Gedung Grahadi.
Sementara para ABH memiliki peran beragam, mulai dari mengajak demonstrasi melalui grup WhatsApp, mempersiapkan bahan bakar, membuat molotov, melempar batu, hingga menjarah material besi di Grahadi.
Barang bukti yang diamankan antara lain pakaian para pelaku, botol bir bekas molotov, satu unit sepeda motor, dan tiga handphone.
Para tersangka dijerat Pasal 187 KUHP subsider Pasal 187 ter KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
“Kesembilan tersangka ini merupakan pelaku pelemparan bom molotov ke arah Gedung Negara Grahadi Surabaya, hingga mengakibatkan kebakaran. Ini murni tindak pidana, bukan bagian dari penyampaian aspirasi,” ujar Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Jules Abraham Abast
Abast enjelaskan bahwa polisi membedakan antara massa demonstran dengan massa perusuh.
“Kenapa ini perlu saya tekankan terlebih dahulu, bahwa penanganan yang saat ini kami sampaikan adalah terkait dengan massa perusuh. Ada unjuk rasa yang dilakukan secara damai, namun ada juga massa perusuh yang sengaja hadir untuk menimbulkan kekacauan dan mengganggu situasi, khususnya di Kota Surabaya,” ujar Kombes Pol Jules Abast.
Selain pembakaran, polisi juga mengungkap kasus penjarahan di Gedung Grahadi. Dua pelaku berinisial MRM (19) dan NR (17) ditangkap setelah mencuri rantai besi sepanjang tiga meter dari pagar Grahadi. Keduanya berhasil diamankan di kawasan Wonokromo oleh petugas bersama warga.
Di lokasi berbeda, polisi juga menangkap MT (19), warga Sampang, Madura, yang melakukan pencurian dengan pemberatan di Polsek Tegalsari. Pelaku memanfaatkan situasi kerusuhan saat Polsek Tegalsari terbakar, lalu menjarah kursi lipat, jam dinding, dan lemari es yang sudah dijual.
“Untuk kasus penjarahan, pasal yang dikenakan adalah Pasal 363 KUHP dengan ancaman maksimal tujuh tahun penjara,” jelas Kombes Pol Jules Abast.
Kasus lainnya adalah dugaan penganiayaan terhadap dua anggota Polda Jatim. Tersangka EKA (18), warga Tambak Asri, Surabaya, dengan sengaja menabrakkan sepeda motornya ke arah Briptu JWP dan Briptu RVB yang sedang bertugas di kawasan Pos Polisi Taman Bungkul.
“Dari tangan tersangka, diamankan motor yang digunakan dan satu unit handphone. Tersangka kami jerat Pasal 351 KUHP dan Pasal 212 KUHP dengan ancaman hukuman hingga lima tahun penjara,” terang Kabid Humas.
Dalam rangkaian aksi anarkis tersebut, Polrestabes Surabaya mengamankan total 315 orang, terdiri atas 187 dewasa dan 128 anak di bawah umur. Dari jumlah tersebut, 33 orang ditetapkan sebagai tersangka, 27 di antaranya dewasa dan ditahan, sedangkan 6 pelaku anak diserahkan kepada keluarga untuk pendampingan Bapas.
Peran para tersangka bervariasi, mulai dari memprovokasi massa, membawa bom molotov, senjata tajam, menyerang aparat, hingga merusak 29 pos lantas di Surabaya.
“Seluruh rangkaian peristiwa ini adalah tindak pidana murni. Mereka bukan bagian dari massa aksi damai, melainkan perusuh yang melakukan vandalisme dengan dalih unjuk rasa,” tegas Kombes Pol Jules Abast.
Penyidik juga menemukan fakta bahwa massa perusuh menggunakan grup WhatsApp sebagai sarana koordinasi. Mereka berkumpul di sebuah warung kopi dengan jumlah mencapai 70 orang, terdiri atas warga Surabaya dan luar kota.
“Kami temukan adanya ajakan melalui WhatsApp. Massa ini bukan demonstran, tetapi perusuh yang berniat menimbulkan kekacauan. Bahkan ada yang membawa molotov, sajam, hingga melakukan penyerangan ke objek vital,” kata Kabid Humas.
Meski sempat terjadi eskalasi, Polda Jatim memastikan bahwa kondisi keamanan di Jawa Timur kini terkendali. Kombes Pol Jules Abast mengimbau masyarakat agar tidak terprovokasi informasi menyesatkan di media sosial.
“Kami mohon dukungan seluruh masyarakat, mari kita jaga Jawa Timur tetap aman. Polisi tidak bisa bekerja sendiri, butuh sinergi dengan TNI, pemerintah daerah, tokoh agama, ormas, dan rekan-rekan media. Kami akan terus menindak tegas setiap aksi anarkis, namun tetap profesional dan humanis,” pungkasnya.
Editor : M Fakhrurrozi