SURABAYA - Peluncuran buku "Pilpres 2024: Antara Hukum, Etika, dan Pertimbangan Psikologi" karya Todung Mulya Lubis ei Jakarta dan digelar secara virtual di berbagai daerah. Salah satunya di Hotel Santika Surabaya, Kamis (12/12/2024).
Peluncuran buku ini menjadi momen penting untuk merefleksikan proses demokrasi di Indonesia. Todung, melalui tiga buku terbarunya, "Antara Hukum dan Politik: Membedah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024", "Keadilan Elektoral di MK", dan "Suara Publik Bergaung di MK", menghadirkan analisis mendalam tentang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Buku-buku tersebut tidak hanya mengulas perdebatan hukum, tetapi juga menyorot aspek politik, etika, dan psikologi yang mewarnai proses sengketa Pilpres 2024. Todung menyajikan suara publik yang bergaung selama 14 hari kerja sejak permohonan sengketa diregistrasi oleh Kepaniteraan MK, serta dinamika persidangan dan pernak-pernik yang mewarnai proses tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara Unair, Mohammad Syaiful Aris dalam diskusi peluncuran buku tersebut, mengatakan bahwa buku-buku Todung menjadi perbincangan karena mengulas perdebatan yang kompleks dan tidak hanya berfokus pada aspek hukum.
Baca Juga : Jelang Putusan MK, Khofifah: Insya Allah Prabowo-Gibran Menang
"Buku ini menarik karena membahas perdebatan yang tidak hanya hukum, tetapi juga politik, etika, dan psikologi," ujar Syaiful Aris saat berdiskusi di Hotel Santika Gubeng.
Todung dalam bukunya juga menekankan bahwa MK tidak hanya menguji perselisihan hasil dan angka, tetapi juga memiliki peran penting dalam perbaikan sistem pemilu ke depan.
"Proses pilpres sudah selesai, tapi kita harus move on. Tapi menarik dicatat beliau proses pilpres terutama dengan sengketa di Mahkamah Konstitusi. Prinsip di undang-undang dasar mengatakan pilpres sebagai sebuah proses yang harus luber dan jurdil.," jelasnya.
Lebih lanjut dia menyebut asas itu dilihat juga apakah penyelesaian sengketa dulu diputuskan dan sifatnya final banding. Sebagai sesuatu yang harus digaris bawahi, di catatan itu penulis menggaris bawahi bahwa MK itu tidak hanya menguji perselisihan hasil dan angka, tapi ada catatan perbaikan terhadap sistem pemilu ke depan.
Buku-buku Todung juga membahas perdebatan keilmuan terkait isu-isu krusial seperti bantuan sosial, netralitas aparat, dan independensi penyelenggara pemilu.
"Yang beda di buku ini menarik terutama dalam proses bukti dan pendapat ahli di buku yang pertama. Kalau dibaca ada perdebatan secara keilmuan bisa diperdebatkan. Walaupun putusan MK menyatakan apa yang didalilkan tidak terbukti.
"Yang menarik yaitu isu tentang bantuan sosial, kemudian netralitas aparat, tentang independensi penyelenggara pemilu," imbuh Syaiful Aris.
Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 Republik Indonesia, hadir sebagai keynote speaker dalam diskusi tersebut. Megawati mengkritik soal netralitas polisi dan dugaan kriminalisasi yang dibahas dalam buku Todung.
"Tadi Bu Mega mengkritik soal polisi ada di dalam buku, ada isu netralitas dan isu dugaan kriminalisasi," ujar Syaiful Aris.
Todung sendiri dalam bukunya juga mengkritik MK yang belum maksimal menjalankan fungsinya. "Todung mengkritik MK belum maksimal menjalankan fungsi," tambah Syaiful Aris.
Buku kedua Todung, yang ditulis oleh banyak ahli di bidangnya, membahas catatan penting dalam proses demokrasi di Indonesia.
"Kalau di buku yang kedua ditulis oleh banyak ahli di bidang, ada catatan dalam proses demokrasi di Indonesia. Sebetulnya hukum demokrasi lebih banyak etika, jadi buku itu menjelaskan bernegara itu juga harus ada kaitan dengan etik," ujar Syaiful Aris.
Peluncuran buku "Pilpres 2024: Antara Hukum, Etika, dan Pertimbangan Psikologi" menjadi momentum penting untuk refleksi dan perbaikan sistem demokrasi di Indonesia. "Catatan untuk kita semua ada hal yang harus diperbaiki yakni sebuah prinsip luber dan jurdil. Proses pemilu tidak dilupakan dan bisa dilakukan perbaikan untuk proses pilpres ke depan," pungkasnya. (*)
Editor : M Fakhrurrozi