Sebagai mahasiswa yang hidup di era digital, saya menyaksikan bagaimana media sosial telah mengubah cara mahasiswa menyuarakan aspirasi dan terlibat dalam isu-isu sosial. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok tidak lagi sekadar menjadi wadah hiburan, tetapi telah bertransformasi menjadi ruang diskusi dan gerakan yang efektif bagi kalangan mahasiswa.
Media sosial menawarkan kemudahan yang belum pernah ada sebelumnya dalam menyebarkan informasi dan mengorganisasi gerakan. Dalam hitungan detik, sebuah isu dapat menjadi viral dan menggerakkan ribuan mahasiswa untuk bertindak. Contohnya, gerakan #BersuaraBersamaMahasiswa yang viral beberapa waktu lalu berhasil mengangkat isu-isu kritis, seperti keadilan sosial dan reformasi pendidikan, ke permukaan.
Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat tantangan yang perlu kita waspadai. Pertama, fenomena echo chamber di media sosial dapat membuat mahasiswa terjebak dalam gelembung informasi yang sama, sehingga mengurangi eksposur terhadap perspektif berbeda yang sebenarnya penting untuk membangun pemikiran kritis. Kedua, kecepatan penyebaran informasi terkadang tidak diimbangi dengan verifikasi yang memadai, yang berpotensi menyebarkan misinformasi.
Sebagai generasi terdidik, mahasiswa perlu mengembangkan keterampilan literasi digital yang kuat. Hal ini mencakup kemampuan memverifikasi informasi, memahami konteks, dan menggunakan platform digital secara strategis untuk mencapai dampak positif yang diinginkan. Aktivisme digital perlu diimbangi dengan aksi nyata di lapangan, menciptakan gerakan yang tidak hanya viral secara online, tetapi juga memberikan solusi konkret bagi permasalahan masyarakat.
Baca Juga : Pria di Bangkalan Tega Cabuli Anak Tiri Berusia 6 Tahun Usai Lihat Foto Wanita Seksi di Facebook
Pengalaman pribadi saya dalam mengorganisasi kampanye kesehatan mental di kampus menunjukkan bahwa kombinasi antara aktivisme digital dan aksi lapangan dapat menghasilkan dampak yang signifikan. Melalui media sosial, kami berhasil menjangkau ribuan mahasiswa dan membangun komunitas yang peduli terhadap kesehatan mental. Namun, perubahan nyata terjadi ketika kami mengadakan sesi konseling tatap muka dan workshop yang memungkinkan interaksi langsung dengan mereka yang membutuhkan bantuan.
Media sosial telah membuka pintu bagi bentuk aktivisme baru yang lebih inklusif dan partisipatif. Namun, kita perlu bijak dalam memanfaatkannya. Mahasiswa harus memahami bahwa media sosial adalah alat, bukan tujuan. Keberhasilan gerakan mahasiswa di era digital akan ditentukan oleh kemampuan kita mengoptimalkan teknologi sambil tetap mempertahankan esensi aktivisme yang bertanggung jawab dan berorientasi pada solusi.
Ke depan, tantangan bagi mahasiswa adalah menemukan keseimbangan antara aktivisme digital dan aksi nyata, antara kecepatan informasi dan keakuratan, serta antara viralitas dan substansi. Dengan pemahaman yang tepat tentang kekuatan dan keterbatasan media sosial, mahasiswa dapat memaksimalkan potensinya sebagai agen perubahan di era digital. (*)
*) Ahlul Mahabbah, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Surabaya yang tertarik pada dunia Humas dan Entertain.
Editor : Iwan Iwe