SURABAYA - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH Moh Hasan Mutawakkil Allallah mengingatkan masyarakat agar mempunyai pemahaman yang tepat soal literasi kegamaan. Karena sebutan yang kurang tepat, akan berakibat tak baik pada orang lain, bahkan pada institusi keagamaan.
"Ya, terutama kepada teman-teman jurnalis untuk literasi keagamaan ini, dengan menggunakan media untuk mengedukasi masyarakat," tutur Kiai Mutawakkil, panggilan akrabnya, dalam keterangan pers, Senin (4/3/2024).
Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo ini memberikan beberapa pokok penting. Misalnya, penggunaan istilah atau sebutan "gus" atau "kiai". Agar tidak digunakan nomenklatur keagamaan untuk konteks yang tidak pas. Seperti penyebutan Syamsudin dengan "gus", atau penggunakan kiai dan seterusnya.
"Kami berharap, para jurnalis dan teman-teman wartawan memahami konsep konsep kunci keagamaan agar tidak salah memberitakan," tutur Kiai Mutawakkil Alallah, yang Mustasyar PWNU Jawa Timur.
Kasus Syamsudin dan Tukar Pasangan
Seperti diketahui, konten video viral di media sosial. Isi dari video tersebut sejumlah orang yang duduk di kursi memakai baju panjang memberikan arahan kepada sejumlah warga pengikutnya. Isi dari video tersebut juga tidak masuk akal. Sebab, pihak yang di depan memberikan izin untuk ganti pasangan dengan syarat suka sama suka.
Syamsudin, pelaku dan pemilik akun konten tersebut, kini berurusan dengan pihak Kepolisian Jawa Timur. Samsudin, seorang tokoh penyembuhan penyakit asal Kabupaten Blitar. Video Samsudin viral karena membebaskan siapa pun memilih pasangannya dan berhubungan atas dasar suka sama suka.
Secara luas masyarakaat pun resah dengan beredarnya video tersebut. Sebab, isi dari video itu membawa agama dan isinya menyimpang dari ketentuan. Untuk MUI Jawa Timur pun mengapresiasi langkah polisi dalam perkara ini.
Sekretaris Umum MUI MUI Jawa Timur, Prof Akh Muzakki mengapresiasi positif langkah Kepolisian Jawa Timur. Menurutnya, bila si pelaku menyebut hal itu sebagai edukasi, tidak bisa dibenarkan.
"Yang disebut edukasi itu orientasinya positif. Islam sama sekali tidak mengajarkan sebagaimana yang ada di konten tersebut. Kami mendukung penuh langkah Polri supaya tidak ada lagi yang membuat konten agama untuk kepentingan pribadi, misalnya agar ratingnya tinggi," jelasnya, dalam penjelasannya di akun instagramnya.
Menurut Prof Muzakki. tidak benar sang pelaku memiliki pondok pesantren. Karena awalnya disebut padepokan penyembuhan. Baru kemudian, ia merekrut seseorang dari pesantren dan mengubah padepokan penyembuhan itu menjadi pondok pesantren.
"Nah, soal tukar pasangan suami-istri, ini betul-betul penyimpangan dari ajaran Islam dan yang diyakini umat Islam. Masuk kategori ajaran sesat," tutur Prof Muzakki, yang juga Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA), Surabaya.
Menurut Prof Muzakki, sanad keilmuan itu penting untuk membantu memastikan keterjaminan mutu gagasan yang diproduksi. Apalagi terkait dengan keilmuan agama.
Karena itu, di banyak kitab kuning sering terdapat bagian awal pembahasan yang menyertakan rekam jejak akademiki penulis. Itu di antaranya untuk mempertegas sanad keilmuan dimaksud.
"Maka, jangan terkecoh dengan produksi konten. Apalagi yang sembarangan. Lebih-lebih sanad keilmuannya tak jelas," tuturnya.
Masyarakat diminta untuk tenang dan tidak terpengaruh isi konten yang menyesatkan tersebut. Bangunan yang ada di rumah Samsudin bukan pondok pesantren melainkan yayasan. Sesuai dengan aturan, jika pondok pesantren harus mendapatkan izin resmi dari Kementerian Agama sedangkan yayasan bisa dari Kemenkumham. (*)
Editor : M Fakhrurrozi