SURABAYA - Fenomena kotak kosong mencuat dan berpotensi terjadi pada pilkada serentak 2024 di sejumlah daerah. Alhasil pilkada serentak di daerah amat mungkin diikuti oleh calon tunggal dan tidak ada lawan.
Munculnya fenomena kotak kosong, tak lepas dari gerakan partai politik yang bersepakat hanya mengajukan satu calon dalam pemilihan gubernur, wali kota dan bupati. Bahkan beberapa partai politik di luar koalisi juga mulai merapat ke koalisi Indonesia maju.
Upaya ini membuat beberapa daerah berpotensi memiliki calon tunggal pada pilkada serentak, asyarakat dihadapkan dua pilihan antara memilih calon tunggal atau kotak kosong.
Meski telah diatur dalam undang-undang, fenomena kotak kosong merupakan bentuk dari kemunduran demokrasi. Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan wali kota menjelaskan paslon tunggal dimungkinkan jika tidak ada lagi pasangan lain yang mendaftar hingga berakhirnya masa pendaftaran dan perpanjangan pendaftaran. Serta hanya ada satu paslon yang dinyatakan telah memenuhi syarat oleh KPU dan partai politik tidak mengajukan lagi paslon pengganti.
Baca Juga : Surat Pembekuan Resmi Dicabut, BEM FISIP UNAIR Ajak Mahasiswa Tetap Berani Kritis
Menurut pengamat politik universitas Airlangga Surabaya Aribowo fenomena calon tunggal merupakan gejala dari otoritarian yang berupaya memperkecil ruang gerak bagi oposisi berkontestasi di pilkada serentak pada november mendatang, Jika kondisi ini dibiarkan terus maka dikhawatirkan akan terjadi pergolakan dari rakyat.
"Ini fenomena kotak kosong sadalah fenomena calon tunggal yang bisa dibilang otoritarian, tidak mau ada pihak oposisi dan enggan dikritik.Pemimpin seperti ini jika dibiarkan saya kira berpengaruh pada gejolak di masyarakat", jelas Aribowo lagi.
Aribowo menambahkan salah satu ukuran demokrasi adalah negara tetap memberikan ruang terhadap oposisi untuk menjadi bagian dari roda pemerintahan.
Editor : Ferry Maulina