SURABAYA - Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Sidoarjo menuai pro dan kontra. Banyak yang mendukung langkah lembaga antirasuah tersebut, namun di sisi lain muncul dugaan adanya campur tangan politik di balik OTT tersebut.
Pro kontra itu muncul dalam program Jatim Gaspol yang mengangkat tema ”OTT KPK di Sidoarjo Jelang Coblosan, Ada Apa?’. Program tersebut menghadirkan tiga narasumber yakni Ketua Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Jatim, Heru Satriyo, advokat sekaligus calon anggota DPR RI, M. Sholeh dan Mathur Husairi yang merupakan anggota DPRD Jatim.
Kasus operasi tangkap tangan di Sidoarjo diketahui terkait dugaan pemotongan insentif Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kantor Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo yang nilainya mencapai Rp 2,7 miliar. KPK telah menetapkan Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD Sidoarjo, Siska Wati sebagai tersangka.
Kasus tersebut diketahui juga menyeret nama Bupati Gus Muhdlor dan Kepala BPPD Sidoarjo. Bahkan, penyidik KPK telah melakukan penggeledahan di kantor dan rumah dinas serta rumah pribadi keduanya, termasuk beberapa pihak lain yang diduga terkait dengan kasus tersebut.
Baca Juga : Wawan Some: Tidak Banyak Caleg yang Tertarik Isu Lingkugan
Ketua Maki Jatim, Heru Satriyo menilai kasus operasi tangkap tangan tersebut merupakan akumulasi dari beberapa persoalan di Kabupaten yang identik dengan udang tersebut. Menurutnya, kejadian tersebut sangat memalukan mengingat momentumnya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-165 Kabupaten Sidoarjo.
”Disampaikan dengan jelas oleh Mas Nurul Ghufron dan KPK bahwa untuk melayani kepentingan Bupati Sidoarjo dan Kepala BPPD Sidoarjo. Ini luar biasa buat saya dan sangat memalukan,” kata Heru Satriyo.
Heru menyebut sebagai akumulasi karena pembangunan di Sidoarjo hanya dinikmati oleh beberapa kalangan tertentu yang notabene bukan orang Sidoarjo. Proyek besar yang ada di Kabupaten Sidoarjo kebanyakan pemenangnya dari Jawa Tengah.
Baca Juga : OTT KPK di Sidoarjo, Kejanggalan hingga Kecurigaan Adanya Drama Politik
”Alhamdulillah apa yang menjadi upaya dari rekan-rekan di Sidoarjo, rekan-rekan yang menjadi motor pembangunan sidoarjo, akhirnya terjawab,” tegas Heru.
Sementara M. Sholeh menilai OTT yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo termasuk yang jarang terjadi karena korupsi tersebut memotong hak dari ASN. Biasanya kasus korupsi yang terjadi di sejumlah daerah terkait dengan proyek, sehingga ia menilai kasus tersebut merupakan sebuah kezaliman.
”Sumber-sumber pendanaan, pundi-pundi kepala daerah, itu rata-rata proyek. Kalau dapat proyek A dapat sekian persen, ini bukan. Ini lebih parah daripada ngambil uang proyek. Ini mengambil keringat dari ASN sebagai pengambil pajak. Itu duitnya ASN dipotong 10 sampai 30 persen untuk sang raja, bagi saya ini di atas kezaliman untuk main proyek tadi,” tegasnya.
”Saya melihat kasus seperti ini jarang terjadi, rata-rata kepala daerah kalau yang mau jadi kepala dinas, nyetor. Itu banyak modus-modus pundi-pundi penghasilan kepala daerah, tapi yang dari keringat ASN itu parah,” lanjut calon anggota DPR RI tersebut.
Sholeh juga mempertanyakan keseriusan KPK kenapa para pihak yang terkait dengan dugaan operasi tangkap tangan tersebut tidak segera ditangkap. Seperti Bupati Sidoarjo yang namanya disebut oleh lembaga antirasuah sudah muncul ke publik dan sempat berbicara kepada media.
”Yang ditangkap ini sepuluh, kok cuma satu yang dijadikan tersangka. Katanya uang itu tidak langsung ke bupati, melalui saudaranya, kakak ipar atau siapa dan itu sudah ditangkap, kenapa itu juga tidak ditangkap?” tegasnya.
Karena itu, Sholeh menyebut banyak yang menganggap kasus tersebut cukup janggal. Karena biasanya KPK ketika melakukan operasi tangkap tangan dalam 1 x 24 jam akan menetapkan sebagai tersangka. Namun, dalam kasus di Sidoarjo butuh waktu tiga hari untuk menetapkan tersangka.
”Jangan-jangan ini ada drama politik, ada kekuatan Pilpres di balik itu, ini dukung A, ini dukung B. Kalau enggak jadi tersangka, saya khawatirnya di situ. Tetapi bagi masyarakat tentu punya hak untuk mengawasi supaya KPK ini tegak lurus, tidak boleh berbelok-belok,” jelas Sholeh.
Sementara anggota DPRD Jatim, Mathur Husairi yang juga bekas aktivis antikorupsi mengomentari terkait dugaan adanya kepentingan politik di balik operasi tangkap tangan KPK. Menurutnya, tidak mungkin lembaga antirasuah tersebut diarahkan untuk melakukan tindakan karena urusan politik.
”Kalau saya ingin menyampaikan bahwa ini murni ranah pidana dan kami yakini bahwa KPK sudah cukup bukti untuk melakukan serangkaian OTT ini. Dan saya meyakini bahwa ini adalah kerja-kerja orang yang masih punya kepedulian terhadap bangsa ini, terhadap nasib Kabupaten Sidoarjo,” jelas Mathur.
Menurut Mathur, apa yang dilakukan KPK merupakan kerja panjang yang kemudian diyakini oleh penyidik KPK dengan informasi yang sangat rinci. Sehingga ditentukan kapan dilakukan tindakan operasi tangkap tangan.
”Kalau OTT, tindakan pidananya murni hukum. Tapi kalau kemudian kita ingin menganilisis lagi apakah jedanya ini ada intervensi politik, ini masyarakat bisa menilai sebenarnya,” terang politisI Partai Bulan Bintang tersebut.
Editor : A.M Azany