Kadang, krisis tak lahir dari keputusan atau kebijakan, melainkan dari satu kalimat yang salah tempat.
“Jangankan lima ribu, lima puluh ribu orang demo pun tak akan membatalkan kebijakan ini.” Kalimat Bupati Pati Sudewo itu bak bom waktu yang pada akhirnya meledak di jalanan.
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen mungkin masih bisa diperdebatkan di meja musyawarah. Tapi nada suara pemimpinnya, membunuh peluang itu. Dalam hitungan hari, protes berubah jadi bentrok, korban jatuh, dan citra pemimpin pun runtuh.
Robert Entman sudah lama mengingatkan lewat Framing Theory, bingkai pertama yang tertanam di kepala publik akan mengalahkan klarifikasi apa pun setelahnya. William L. Benoit bahkan menandai strategi menyerang pengkritik sebagai racun dalam komunikasi krisis. Pati jadi buktinya bila ucap dulu tanpa saringan, minta maaf belakangan, tapi luka itu sudah terlanjur terbuka.
Yang lebih fatal, pembatalan kebijakan tak segera disusul peraturan baru yang jelas. Kekosongan ini, seperti diurai Allport dan Postman dalam Rumor Theory, adalah ladang subur bagi kabar liar. Warga bertanya-tanya: tagihan mana yang berlaku? Bagaimana mengembalikan kelebihan bayar? Pemerintah tak cepat memberi jawab, bisik-bisik pun makin liar.
Pati bukan tragedi komunikasi pertama di negeri ini. Wadas, Purworejo, pernah panas karena pemerintah datang “memberi tahu” tanpa mengajak duduk. Pada awal konflik, komunikasi cenderung tertutup dan diwarnai ketegangan, terutama terkait penolakan warga terhadap proyek penambangan batu andesit untuk Bendungan Bener.
Rempang, Batam, pecah bentrok karena aparat lebih cepat hadir daripada jaminan nasib warga.
Bahkan aksi protes warga malah dibalas dengan ancaman. Kala itu, Wakil Kepala BP Batam yang juga Wakil Walikota Batam Li Claudia Chandra mengancam tidak akan memasukkan program pemerintah ke Rempang jika warga tetap memasang spanduk protes tersebut ketika dikunjungi pejabat.
Sherry Arnstein dalam konsep 'Tangga Partisipasi' (Ladder of Citizen Participation) menjelaskan bahwa jika sebuah kebijakan tidak melibatkan partisipasi masyarakat pada tingkatan yang sebenarnya (yaitu, naik ke tangga partisipasi sejati), maka kebijakan tersebut kemungkinan besar akan gagal atau tidak efektif. Tanpa partisipasi yang bermakna, kebijakan cenderung hanya menjadi 'top-down' dan tidak sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi masyarakat yang sebenarnya.
Persoalan Pati bukan hanya soal komunikasi, tapi juga gaya kepemimpinan. Mengacu pada tipologi Kurt Lewin, gaya yang ditunjukkan cenderung otoriter. Yaitu pemimpin memutuskan sendiri, mengharapkan kepatuhan mutlak, dan menepis kritik. Padahal, situasi kebijakan sensitif seperti pajak membutuhkan pendekatan demokratis dengan membuka ruang partisipasi, mengakomodasi pandangan berbeda, dan menegosiasikan jalan tengah.
Dalam kerangka transformational leadership milik Bernard Bass, pemimpin justru diharapkan menjadi inspirator yang menggerakkan warga melalui visi bersama, bukan sekadar regulator yang memaksa.
Carl Rogers mengajarkan, empati adalah inti komunikasi. Bukan seberapa keras bicara, tapi seberapa dalam lawan bicara merasa didengar. James Grunig menambahkan lewat two-way symmetrical model. Keputusan publik yang sehat adalah hasil negosiasi, bukan titah tunggal. Sayangnya, di Pati, yang terdengar justru tantangan, bukan dialog.
Pelajarannya sederhana namun kerap diabaikan adalah rakyat bisa menelan keputusan pahit jika disajikan dengan hormat dan jujur. Tapi satu kalimat yang pongah dan angkuh, apalagi dari lidah pemimpin, bak menyalakan api yang tak mudah dipadamkan. (*)
*) Penulis adalah praktisi media dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sunan Gresik
Editor : Iwan Iwe