Dalam beberapa tahun terakhir, istilah cancel culture makin sering terdengar di ruang digital Indonesia. Istilah ini merujuk pada praktik memboikot seseorang - biasanya publik figur - karena pernyataan atau perilaku yang dianggap ofensif, tidak etis, atau bertentangan dengan nilai-nilai sosial.
Meski awalnya muncul dari gerakan progresif di Barat yang menuntut akuntabilitas, cancel culture di Indonesia telah berkembang menjadi fenomena sosial yang kompleks: terkadang memperjuangkan keadilan, namun di sisi lain menjelma menjadi bentuk persekusi digital.
Secara teori, cancel culture bisa menjadi alat kontrol sosial yang kuat. Di tengah menurunnya kepercayaan terhadap institusi formal, media sosial menjadi ruang alternatif untuk menuntut pertanggungjawaban. Kasus-kasus pelecehan seksual, rasisme, atau kekerasan verbal yang dulunya mudah disapu ke bawah karpet, kini bisa disorot dan mendapat perhatian publik. Contohnya, viralnya video seorang pejabat publik yang bersikap arogan kepada masyarakat mampu memicu gelombang kritik yang mendorong penyelidikan resmi.
Namun, di balik niat baik tersebut, praktik cancel culture di Indonesia sering berlangsung tanpa proses klarifikasi atau pembuktian. Dalam hitungan jam, sebuah unggahan bisa mengubah hidup seseorang, mulai dari kehilangan pekerjaan, reputasi hancur, hingga terganggunya kesehatan mental. Studi dari lembaga Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada (2023) menunjukkan bahwa korban cancel culture mengalami tekanan psikologis tinggi, bahkan depresi, akibat tekanan netizen.
Baca Juga : UN Bakal Digelar Kembali, Komisi X DPR RI Minta Sistem Baru Harus Berbasis Digital
Menariknya, cancel culture di Indonesia tidak hanya menyasar tokoh terkenal. Dalam beberapa kasus, individu biasa juga ikut “diadili” karena komentar atau unggahan yang dianggap menyinggung kelompok tertentu. Motifnya pun beragam: dari pembelaan terhadap nilai moral, kemarahan kolektif terhadap ketidakadilan, hingga sekadar ikut-ikutan agar tidak ketinggalan momen viral.
Penting untuk membedakan antara boikot sebagai bentuk protes damai, dengan persekusi digital yang menyerang ranah personal. Ketika seseorang di-cancel, sering kali tidak hanya karyanya yang diboikot, tapi juga terjadi doxing (pembongkaran data pribadi), pelecehan daring, bahkan intimidasi terhadap keluarga.
Apakah ini masih bisa disebut kritik publik? Atau telah bergeser menjadi cyberbullying yang dibungkus moralitas?
Baca Juga : Peran Media Sosial dalam Aktivisme Mahasiswa Modern: Antara Peluang dan Tantangan
Fenomena ini membuat kita dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, masyarakat berhak menyatakan ketidaksetujuan. Namun di sisi lain, kita perlu bertanya: siapa yang memberi wewenang pada publik untuk menjadi hakim, juri, sekaligus algojo?
Menurut ahli hukum media, cancel culture belum tentu melanggar hukum, namun jika melibatkan ujaran kebencian atau pembocoran data pribadi, bisa dijerat UU ITE dan KUHP.
Internet memberi kita suara. Tapi suara yang kuat juga menuntut tanggung jawab. Cancel culture bisa menjadi alat perubahan sosial, namun juga bisa menjadi senjata penghancur jika digunakan tanpa empati dan refleksi. Mungkin sudah waktunya kita berhenti sejenak sebelum menekan tombol share atau quote tweet. Karena bisa jadi, yang sedang kita “cancel” adalah kemanusiaan kita sendiri. (*)
Editor : M Fakhrurrozi