PACITAN - Tanah di wilayah Desa Cokrokembang, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan, berwarna kuning keemasan. Disinyalir, desa kecil ini memang menyimpan emas di perut bumi. Karena itulah PT Gemilang Limpah Internusa (GLI) datang jauh-jauh dari Tiongkok untuk mengeksplorasinya sejak dua dasawarsa silam.
Sayang, sejauh ini masyarakat setempat nyaris tidak ikut menikmatinya. Sebaliknya, mereka menahun menjadi korban dampak kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah tambang. Bahkan, berapa banyak hasil aktivitas tambang pun mereka tidak pernah tahu. Versi warga dan perusahaan bertolak angka.
Pos Bantuan Hukum Komite Advokasi Hukum Nasional Indonesia (Kanni) menaksir GLI mengeruk 50 ton hasil tambang yang bernilai Rp 11 miliar per hari.Itu berdasar jumlah dump truck yang ke luar mengangkut material tambang.
‘’Hasil itu setelah di uji lab bersama ITS (Intitut Teknologi Sepuluh Nopember),’’ kata Jumangin, perwakilan warga setempat, Senin (22/01/24) pagi.
Menurut Jumangin, dari 10 kilogram bongkahan material yang dikirim ke laboratorium di Gresik, diambil sampel 50 gram dalam bentuk serbuk. Setelah diproses menghasilkan 1,6 gram logam, yang terdiri 1,212 gram tembaga (Cu), 0,309 gram timah (Ag), dan 0,008 gram emas (Au).
‘’Tinggal dikalikan saja jika 50 ton per hari,’’ tambahnya.
Dari 50 ton per hari, menghasilkan 1,6 ton kandungan logam. Terdiri dari 8.000 gram emas, 1,2 ton tembaga dan 309.000 gram timah. Jika estimasi harga emas Rp 600 ribu per gram, maka menghasilkan cuan Rp 4,8 miliar. Pun hasil dari kandungan timah, jika estimasi harga Rp 20 ribu per gram kali 309.000 gram hasilnya Rp 6,180 miliar. Juga tembaga 1,2 ton akan menghasilkan duit Rp 860 juta.
‘’Itu hasil uji lab tahun 2020, jika saat ini harga emas sudah naik, pasti keuntungannya berlipat,’’ sebutnya.
Sementara Legal Officer PT GLI Badrul Amali menuding uji lab yang dilakukan Kanni tidak berdasar. Sebab, pihaknya tidak mengolah batuan hingga menjadi bijih emas. Pabrik pengolahan tambang seluas tiga hektare di Kecamatan Arjosari hanya mengolah batuan menjadi konsentrat tembaga.
‘’Kalau mengolah dari bahan hingga barang jadi harus mengunakan Smelter, GLI tidak memiliki itu,’’ elaknya.
Badrul juga mengklaim hasil tambang hanya empat rit per hari. Atau tak lebih dari 40 ton.Pun hasil uji laboratorium Sucofindo menunjukkan hasil berbeda. Hanya, Badrul enggan membeber datanya.
‘’Kondisi perusahaan saat ini hidup segan mati tak mau. Tidak mungkin penghasilannya segitu, data dari mana Rp 11 miliar itu,’’ sergahnya.
Diketahui, dana bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) mineral dan batu bara (minerba) Pacitan relatif rendah. Badan Keuangan Daerah (BKD) Pacitan menyebut DBH SDA iuran tetap (land-rent) Rp 29 juta dan DBH SDA royalti Rp 808 juta. Royalti khusus dari GLI Rp 30 juta setahun. (Edwin Adji)
Editor : M Fakhrurrozi