Pendakian gunung di Indonesia bukan hanya sekadar petualangan atau eksplorasi alam. Aktivitas ini sering kali menyimpan kisah yang penuh tantangan, bahkan tragis, termasuk kecelakaan dan kehilangan nyawa. Banyak pendaki memilih tidak membagikan pengalaman pahit mereka karena trauma. Meski Indonesia dikenal sebagai negara dengan keindahan alam luar biasa—gunung-gunung megah, danau-danau cantik, dan hutan yang asri—ada sisi gelap yang membuat sebagian orang ragu untuk menapakkan kaki di tempat-tempat ini.
Sebagai negara yang berada di jalur Cincin Api Pasifik, Indonesia memiliki banyak gunung berapi, baik yang aktif maupun tidak aktif. Gunung-gunung ini menjadi daya tarik wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Keindahan puncaknya menggoda banyak orang untuk mendaki. Namun, pendakian gunung juga menyimpan risiko besar, mulai dari hipotermia hingga kecelakaan fatal.
Tren Pendakian dan Fenomena FOMO
Di era modern, pendakian semakin digemari oleh generasi muda, terutama generasi Z. Sayangnya, popularitas aktivitas ini sering diiringi dengan fenomena Fear of Missing Out (FOMO). Demi terlihat “eksis” di media sosial, beberapa pendaki mengabaikan etika dan solidaritas, nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi.
Kisah-kisah tragis kerap muncul, seperti pendaki yang meninggalkan temannya yang terkena hipotermia demi mengejar puncak. Ada pula yang tanpa sadar merusak lingkungan, misalnya meninggalkan sampah di jalur pendakian, memetik bunga edelweis yang dilindungi, atau mencemari sumber air bersama. Tidak jarang, aksi-aksi ini berujung pada tragedi, seperti pendaki hilang, tersesat, atau bahkan meninggal dunia akibat ketidakpedulian sesama pendaki.
Dunia pendakian saat ini menghadapi tantangan besar akibat perilaku egois sebagian pendaki. Padahal, kerja sama tim dan solidaritas adalah elemen vital dalam pendakian. Ambisi mencapai puncak tidak seharusnya mengorbankan akal sehat dan kemanusiaan. Dalam pendakian, keselamatan rombongan harus selalu diutamakan, karena puncak hanyalah bonus.
Menjaga Etika dan Lingkungan
Selain solidaritas, pendaki juga harus menjaga kelestarian alam. Mematuhi aturan yang berlaku adalah bentuk penghormatan terhadap gunung dan ekosistemnya. Prinsip dasar pendakian seperti:
- Tidak mengambil apa pun kecuali foto,
- Tidak meninggalkan apa pun kecuali jejak,
- Tidak membunuh apa pun kecuali waktu,
...harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Pendaki juga perlu mempersiapkan diri dengan baik, membawa perlengkapan memadai, obat-obatan, dan alat keselamatan. Gunung adalah makhluk hidup yang perlu kita jaga. Pendakian bukan tentang siapa yang tercepat sampai puncak, tetapi bagaimana kita semua bisa pulang dengan selamat tanpa meninggalkan kerusakan.
Akhir Kata
Bagi para pemuda, mari kita jaga alam kita. Jangan biarkan tren FOMO mengikis rasa tanggung jawab terhadap alam dan sesama. Gunung adalah rumah yang kita kunjungi, bukan tempat untuk bertindak semena-mena. Jika gunung bisa berbicara, mungkin ia akan berkata, “Jangan kembali jika hanya ingin menyakiti.”
Pendaki yang bertanggung jawab adalah mereka yang peduli, menjaga solidaritas, dan melestarikan alam. Selamat mendaki, dan ingatlah: alam menjaga kita jika kita menjaganya. (*)