Sejak tahun 2000, Sidoarjo seolah tak bisa lepas dari bayang-bayang korupsi yang menjerat para bupatinya. Setiap kali tongkat kepemimpinan berpindah, bayangan kasus korupsi seolah menjadi bagian dari warisan jabatan. Dimulai dari Win Hendarso (2000-2010), yang tersangkut pencairan dana kas daerah senilai Rp 2,3 miliar, hingga penggantinya, Saiful Ilah (2010-2021), yang juga tersandung kasus suap pengadaan infrastruktur senilai Rp 600 juta. Ironisnya, Saiful Ilah dulunya adalah wakil dari Win Hendarso, memperkuat citra korupsi yang seperti “bermata rantai” di Sidoarjo.
Kini di tahun 2024, giliran Bupati Ahmad Mudhlor Ali atau yang dikenal sebagai Gus Mudhlor—putra tokoh agama berpengaruh dari Sidoarjo—yang harus berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan tuduhan pemotongan insentif pegawai di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) senilai Rp 2,7 miliar, Gus Mudhlor resmi ditetapkan sebagai tersangka dan harus mengenakan rompi oranye pada 16 April 2024. Kejadian ini mengecewakan masyarakat yang sebelumnya percaya pada integritasnya, apalagi mengingat Gus Mudhlor berasal dari keluarga religius dan memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni.
Sidoarjo kini menghadapi krisis kepercayaan. Deretan kasus korupsi yang melibatkan pemimpin daerah ini memicu rasa skeptis di kalangan masyarakat terhadap integritas pemimpin yang akan datang. Masyarakat yang sudah berulang kali memilih pemimpin dengan harapan akan adanya perubahan, kini harus melihat anggaran publik, yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan, malah diselewengkan. Anggaran yang sejatinya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat malah dirampas untuk kepentingan pribadi, menyebabkan efek domino terhadap pembangunan daerah.
Dalam kasus terbaru ini, KPK, kejaksaan, dan kepolisian bekerja sama untuk menyelidiki dugaan korupsi. Sebagai lembaga anti-korupsi, KPK memainkan peran penting dalam memberantas praktik korupsi skala besar. Meski begitu, penguatan langkah-langkah pencegahan juga penting untuk menghindari kasus-kasus kecil yang dapat membesar. Sidoarjo dan daerah-daerah lain di Indonesia memerlukan transparansi yang lebih baik, terutama dalam pengelolaan anggaran daerah. Langkah-langkah seperti penerapan e-government, yang dapat mendigitalisasi layanan publik, diyakini bisa membantu mengurangi peluang korupsi.
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang, pemerintah Sidoarjo perlu melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem pengawasan. Transparansi yang diperkuat, pengawasan dari masyarakat melalui forum warga, serta pendidikan anti-korupsi bagi para pejabat adalah langkah-langkah konkret yang diperlukan. Diharapkan pula adanya peran aktif penegak hukum agar dapat bersikap proaktif dalam memeriksa dan menindak pelanggaran sejak dini. Dengan langkah-langkah ini, harapan untuk pemerintahan yang bersih dan berintegritas di Sidoarjo mungkin masih dapat terwujud.
Di tengah kekecewaan yang mendalam, masyarakat hanya bisa berharap bahwa para calon bupati mendatang tidak akan mengulang kesalahan yang sama, dan KPK mampu mengusut tuntas kasus ini hingga ke akarnya. (*)