Carok merupakan tradisi dari pulau Madura yang sudah turun-temurun sejak dulu. Tradisi ini digunakan sebagai penyelesaian masalah untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan. Kata ‘Carok’ berasal dari bahasa Madura yang berarti bertarung dengan kehormatan. Biasanya tradisi ini berhubungan erat dengan harta, tahta, dan wanita seperti penyelesaian masalah piutang, pelecehan, dan warisan.
Tradisi Madura ini dilakukan menggunakan senjata tajam seperti celurit. Carok dibagi menjadi dua jenis. Pertama Ngonggai, yaitu cara yang dilakukan dengan mendatangi rumah musuh untuk menantangnya. Kemudian yang kedua adalah Nyelep, penyerangan yang dilakukan dari arah belakang atau samping.
Sebenarnya tradisi ini memiliki 3 syarat tertentu sebelum seseorang melakukannya yakni kadidayan, tampeng sereng, dan banda. Kadigdayan berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan secara fisik dan mental.
Tempeng sereng sendiri merupakan hal yang menyangkut kekuatan non-fisik seperti membentengi diri dengan kekebalan. Terakhir banda atau biaya, dalam konteks ini biaya dibutuhkan untuk persiapan-persiapan fisik dan mental.
Baca Juga : Tradisi Karapan Sapi, Warisan Budaya Kebanggaan Madura yang Tak Lekang oleh Waktu
Bagi masyarakat luar Madura carok merupakan sebuah aksi perkelahian yang dapat menimbulkan bentuk tindak pidana. Karena tradisi ini tidak hanya bisa dilakukan oleh dua orang, tapi terkadang juga melibatkan sekelompok orang yang menimbulkan korban.
Dalam perspektif hukum yang berlaku di Indonesia jelas, tradisi ini melanggar beberapa pasal yang berlaku. R. Soesilo dalam bukunya berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentarnya menjelaskan bahwa tidak ada definisi khusus terhadap istilah “berkelahi satu lawan satu”.
Menurutnya secara umum “berkelahi satu lawan satu” merupakan tindakan perkelahian dua orang yang sudah ditetapkan mengenai tempat, waktu, senjata, dan sanksinya.
Baca Juga : Sumber Air di Pandan Omben Sampang Membesar, Petugas Beri Police Line
Carok dapat dikategorikan sebagai tindak pidana karena dapat menimbulkan korban sehingga bisa dikenakan dalam pasal 182, 340, 353, dan 355. Seiring berkembangnya zaman budaya ini dianggap sebagai tradisi yang tidak berperikemanusiaan.
Editor : A.M Azany