KOTA MALANG - Pemerintah Kota Malang mengambil langkah strategis dalam mewujudkan penegakan hukum yang manusiawi dengan menandatangani Nota Kesepakatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) bersama Kejaksaan Negeri setempat. Kolaborasi ini diharapkan dapat menjadi terobosan dalam menyelesaikan perkara pidana dengan pendekatan mediasi dan kearifan lokal.
Komitmen ini ditegaskan oleh Walikota Malang, Dr. Ir. Wahyu Hidayat, MM, usai penandatanganan kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, serta pemerintah kabupaten/kota dengan Kejaksaan Negeri se-Jawa Timur di Dyandra Convention Centre, Kamis (9/10/2025).

“Pemerintah Kota Malang siap berkolaborasi untuk mendukung dan menindaklanjuti proses penyelesaian perkara melalui restorative justice,” ujar Walikota Wahyu. Ia menegaskan bahwa pendekatan ini merupakan momentum untuk membangun sistem hukum yang lebih solutif dan melindungi masyarakat .
Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah paradigma hukum yang menggeser fokus dari sekadar menghukum pelaku kepada pemulihan keadaan, dengan mendorong mediasi antara pelaku dan korban untuk mencapai solusi yang disepakati bersama . Pendekatan ini berfokus pada pemulihan kerugian korban, akuntabilitas pelaku, dan memperbaiki hubungan sosial yang rusak, alih-alih hanya menjatuhkan hukuman penjara.
Kebijakan ini telah mendapatkan landasan hukum yang kuat di Indonesia. Penerapannya diatur pada setiap tahap peradilan, mulai dari penyidikan oleh Kepolisian (Perpol No. 8/2021), penuntutan oleh Kejaksaan (PERJA No. 15/2020), hingga persidangan di Pengadilan (PERMA No. 1/2024).

Penerapan restorative justice dianggap sebagai solusi untuk beberapa masalah sistemik, seperti overcrowding atau kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan. Data per 14 Agustus 2024 menunjukkan tingkat overcrowding di Indonesia mencapai 91%, dengan 215.274 narapidana berada di lapas .
Selain itu, pendekatan ini juga dinilai efektif untuk menyelesaikan perkara anak karena dapat mengalihkan anak dari proses peradilan formal yang berbelit dan berpotensi traumatis, sehingga hasilnya lebih adil dan manusiawi .

Namun, implementasinya masih menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya: Kesiapan Aparat Penegak Hukum, pemahaman dan kapasitas aparat yang belum merata dalam menerapkan konsep ini. Perlindungan Korban, diperlukan jaminan bahwa proses mediasi berjalan sukarela tanpa paksaan, khususnya untuk korban kekerasan dalam rumah tangga. Koordinasi Lintas Lembaga, diperlukan sinergi yang kuat antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemerintah daerah untuk menciptakan ekosistem restorative justice yang efektif.
Sebagai tindak lanjut, Walikota Wahyu menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menangani akar masalah sosial yang melatarbelakangi tindak pidana, seperti kemiskinan, konflik keluarga, atau kenakalan remaja.
“Ada isu sosial yang menjadi perhatian dalam proses restorative justice ini. Maka, tindak lanjut dari pemerintah menjadi kunci agar proses ini benar-benar berdampak,” ujarnya.

Pembentukan Rumah Restorative Justice di tingkat komunitas, seperti yang pernah dijalankan di Kota Malang sebelumnya, dapat menjadi wujud nyata dukungan pemerintah daerah. Rumah RJ berfungsi sebagai wadah mediasi yang melibatkan tokoh masyarakat dan mengedepankan kearifan lokal untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
Dengan komitmen kuat dari pemerintah kota, penerapan restorative justice diharapkan tidak hanya mengurangi beban sistem peradilan, tetapi juga menghadirkan keadilan yang substantif, memulihkan hubungan masyarakat, dan menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. (Lee)
Editor : JTV Malang



















