KOTA MALANG - Sidang lanjutan kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menjerat tiga terdakwa Hermin, Dian Permana, dan Alti alias Ade kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Malang, Senin (4/8/2025). Di bawah pimpinan Majelis Hakim Kun Tri Haryanto Wibowo, SH, M.Hum, persidangan kali ini menghadirkan gelora perdebatan hukum setelah saksi ahli pidana dari pihak terdakwa memberikan keterangan yang memicu kontroversi.
Dr. Zulkarnain, S.H., M.H., pakar hukum pidana dari Universitas Widyagama Malang, menjadi sorotan saat menyatakan bahwa pelanggaran administratif tidak serta merta bisa dikenakan pasal TPPO. "Hukum pidana harus dilihat secara komprehensif. Tidak ada unsur eksploitasi. Maka ini bukan ranah TPPO, melainkan persoalan izin operasional perusahaan," tegasnya di hadapan majelis hakim.
Pernyataan ini langsung memantik reaksi. Pasalnya, PT NSP Cabang Malang baru mengantongi izin operasional pada 15 November 2024, sementara sejumlah korban mengaku telah direkrut jauh sebelum izin tersebut terbit.
              
Baca Juga : Sidang TPPO di Malang Memanas: Saksi Ahli Bantah Dakwaan, JPU Teguh pada Tuntutan
Di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mohamad Heryanto, SH, MH, bersikukuh bahwa dakwaan telah kuat. "Kami sudah menyiapkan tuntutan. Kehadiran saksi ahli tidak mengubah posisi hukum kami karena mereka hanya memberikan perspektif, bukan pembuktian baru," tegasnya.
JPU meyakini bahwa unsur eksploitasi dalam TPPO tetap terpenuhi, meski terdakwa berargumen bahwa masalah izin adalah persoalan administratif belaka.
Amri Abdi Bahtiar Putra, kuasa hukum ketiga terdakwa, berapi-api membela kliennya. "Ini bukan kejahatan, tapi kebijakan pusat yang belum teregulasi. Jangan sampai pegawai di level cabang menjadi korban ketidaktuntasan aturan," protesnya.
Ia berharap majelis hakim tidak terburu-buru menjerat terdakwa dengan pasal berat TPPO, melainkan mempertimbangkan "asas keadilan dan proporsionalitas".
Di luar ruang sidang, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tetap bersiaga mendampingi korban. "Kami tidak akan tinggal diam. Proses hukum harus transparan dan memenuhi hak-hak korban," tegas perwakilan SBMI.
Kasus ini mengacu pada Pasal 2 dan/atau 4 UU TPPO serta UU Perlindungan Pekerja Migran. Jika terbukti, ancaman hukuman bagi terdakwa bisa mencapai 15 tahun penjara. (Lee)
Editor : JTV Malang



















