SURABAYA - Magister Kajian Ilmu Kepolisian Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga bersama Airlangga Forum menggelar seminar nasional yang bertemakan "Penguatan Penegakan Hukum melalui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana" di Surabaya, pada 17 April 2025. Seminar ini menghadirkan para pakar hukum dan akademisii sebagai narasumber untuk membahas perkembangan dan tantangan dalam RUU Hukum Acara Pidana yang tengah digodok.
Para narasumber utama yang hadir adalah Prof. DR. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional dan Tim Ahli Hukum Kapolri, Prof. DR. Bagong Suyanto, Drs., M.SI. – Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, serta Prof. DR. Sri Winarsi, S.H., LL.M. – Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Diskusi dipandu oleh Prof. DR. Suparto Wijoyo, S.H., M.Hum.
Dalam seminar ini, Prof. DR. Basuki Rekso Wibowo menekankan pentingnya partisipasi warga kampus dalam memberikan kritik dan saran terhadap RUU yang sedang dibahas. “Seminar ini adalah bagian dari meaningful participation, di mana warga kampus aktif mengkritisi dan menyampaikan pandangan kritis terhadap RUU KUHAP yang saat ini sedang dibahas,” ujarnya.
Prof. Basuki juga menyebutkan bahwa perubahan dalam hukum acara pidana harus berfokus pada penguatan penegakan hukum sesuai dengan prosedur dan kewenangan masing-masing institusi.
Baca Juga : Kolaborasi dengan Akademisi dan Pemerintah, LPPM UNESA Bedah UU No 3 Tahun 2024
“Ada institusi yang ingin mengambil alih porsi kewenangan penyidik, seolah-olah akan menjadi ‘superbody’ dalam penegakan hukum pidana. Saya melihat kecenderungan itu. Kita harus ingatkan, terutama para anggota parlemen, agar kembali pada diferensiasi fungsi dan kewenangan setiap lembaga penegak hukum. KUHAP ini harus harmonis dengan Undang-Undang Kepolisian dan Kejaksaan agar tak tumpang tindih,” kara Prof. Basuki.
Prof. DR. Sri Winarsi mengungkapkan bahwa rancangan RUU KUHAP saat ini sudah lebih baik dibandingkan dengan draft sebelumnya. "Kami berharap RUU KUHAP ini dapat menciptakan sistem peradilan pidana yang terpadu dan memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia bagi semua pihak, baik tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban," ujar Prof. Sri.
Prof Sri juga menekankan pentingnya penempatan yang tepat atas fungsi dan wewenang aparat penegak hukum.
"Kita harus mengawal diferensiasi kewenangan agar penegakan hukum menjadi efektif, efisien, dan berkeadilan. Dalam draf RUU KUHAP, khususnya Pasal 6, 8, 13, 42, dan 46, sudah tampak upaya membangun koordinasi yang sistematik dan profesional antara penyidik dan penuntut umum. Jangan sampai norma hanya berhenti di atas kertas, tapi harus tercermin dalam praktik," terangnya.
Sementara itu, Prof. DR. Bagong Suyanto menyoroti pentingnya kontrol terhadap aparat penegak hukum, bukan hanya koordinasi antar-lembaga. Menurutnya, sistem yang kuat lebih penting daripada sekadar mengandalkan integritas individu. Ia menekankan perlunya literasi hukum masyarakat sebagai bentuk kontrol sosial, sekaligus mempertanyakan apakah RUU KUHAP telah secara tegas mengatur sanksi bagi aparat yang menyimpang dari amanah.
"Saya masih belum melihat siapa yang mengontrol. Menurut saya, bukan sekadar koordinasi, tapi harus ada kontrol terhadap aparatur penegak hukum yang diberi kewenangan. Kalau tidak dikontrol, risikonya besar. Siapa yang tidak tergoda kalau satu perkara nilainya 60 miliar?" ujar Prof. Bagong Suyanto.
Dalam penegakan hukum, ia mengajak untuk membangun sistem yang membuat aparat merasa diawasi secara terus-menerus agar tetap amanah.
Sementara itu, Prof. Radian Salman menekankan bahwa RUU KUHAP berlandaskan UUD 1945, menjunjung prinsip negara hukum dan perlindungan HAM. Ia menilai draf ini menunjukkan kemajuan, terutama dalam memperkuat proses hukum melalui pembatasan upaya paksa dan pengaturan restorative justice.
Namun, ia mencatat kelemahan, seperti belum diaturnya sanksi bagi aparat yang menyimpang dan belum diakomodasinya paralegal untuk warga miskin. Menurutnya, KUHAP baru ini perlu terus dikawal agar lebih akuntabel dan berkeadilan.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Prawitra Thalib menilai RUU KUHAP saat ini merupakan hasil perjuangan panjang akademisi dan pegiat hukum. Versi awal RUU dinilainya problematik karena mengaburkan diferensiasi kewenangan antaraparat penegak hukum. Namun versi terbaru telah menunjukkan perbaikan signifikan, menjaga diferensiasi fungsional dan memperkuat perlindungan terhadap hak warga negara, tersangka, saksi, dan korban. Ia menekankan pentingnya mengawal agar versi final ini tetap konsisten saat disahkan menjadi undang-undang, tanpa mereduksi kualitas yang telah dicapai.
“Jangan sampai perbaikan ini justru menjadi suatu hal yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang diganti. Sebab itu, kalau kita bicara versi finalnya sudah ada perbaikan. Mari kita sama-sama mengawal, memberikan edukasi kepada publik bahwa RUU KUHAP yang sudah ada ini silakan diperbaiki, terbuka untuk masukan dan kritik, tapi jangan sampai mereduksi kebaikan-kebaikan yang sudah muncul daripada versi-versi sebelumnya,” tegasnya.
Seminar ini diharapkan dapat memberikan masukan yang konstruktif bagi para pembentuk undang-undang di Indonesia, agar RUU KUHP yang tengah dibahas dapat menjadi lebih baik dan tidak mengurangi hak-hak dasar yang telah dijamin oleh konstitusi.(*)
Editor : A. Ramadhan