Fenomena kenaikan harga beras yang “ugal ugalan” dalam enam bulan terakhir harus menjadi peringatan (wake up alarm) bahwa ada masalah fundamental yang sangat berisiko dan berpotensi menjadi ancaman keselamatan nasional. Masalah fundamental ini adalah ketersediaan beras nasional. Kenaikan harga beras ini sangat dirasakan masyarakat miskin. Terutama yang memiliki banyak anggota keluarga. Sebagai komoditas strategis, manajemen produksi, pasca panen, dan distribusinya perlu ditata ulang (overhaul) agar produksi dalam negeri cukup dan distribusinya merata.
Perlu menjadi catatan, problem beras dunia terjadi karena pertambahan populasi global yang meningkat dengan cepat dalam beberapa dekade terakhir. Perkembangan ini langsung berdampak pada peningkatan permintaan akan produk pangan khususnya beras. Sebab, pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Asia yang merupakan konsumen beras terbesar. Ini akan memberikan tekanan yang luar biasa pada perlunya manajemen penyediaan beras sebagai sumber makan pokok. Perlu diingat daya tahan suatu negara ketika terjadi perang bukan amunisi saja tetapi juga nasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras premium mencapai Rp 13.662/kg, beras medium Rp 13.187, dan beras luar kualitas harganya Rp 13.057. Di Papua Pegunungan, harga beras mencapai Rp 22.500/kg. Sementara di Kalimantan Timur mencapai Rp 16.530/kg. Katadata melaporkan harga beras putih yang dijual di e-commerce pada Januari 2023 harganya naik 22 persen dalam sebulan. Kenaikan harga beras ini terjadi menyeluruh di 268 kota.
Defisit
Baca Juga : Redam Lonjakan Harga, Saatnya Reformasi Perberasan Nasional
Pertanyaanya adalah kenapa harga beras naik drastis dalam lima bulan terakhir? Jawabannya adalah karena pasokan beras langka. Teori ekonomi menjelaskan bahwa saat pasokan barang di pasar rendah dan permintaan tetap maka harga akan naik. Artinya, Indonesia sedang menghadapi problem manajemen beras yang serius. Sumbernya adalah produksi lebih sedikit dari kebutuhan sehingga harus impor.
Ada banyak sebab kenapa pasokan beras kita merosot. Pertama, terjadinya penurunan Dasar Tukar Petani khususnya tanaman pangan dimana nilainya hanya 98 walaupun pada 2023 naik menjadi 107. Saat harga naik, posisi petani juga tidak baik baik saja aliar mengalami dasar tukar yang menurun. Artinya menanam padi tidak menguntungkan. Makanya banyak petani yang mengonversi lahannya untuk menanam produk-produk hortikultura seperti cabai yang harganya lebih tinggi. Kedua, faktor perubahan iklim yang menyebabkan kontinuitas pasokan air untuk pertanian padi cenderung terganggu. Apalagi awal musim hujan 2023 agak terlambat. Ingat, petani sudah rasional dengan teliti menghitung biaya dan hasil. Apalagi keluhan tentang kelangkaan pupuk saat dibutuhkan sering menjadi bahan diskusi di level desa.
Yang perlu diingat lagi adalah masalah produksi dan konsumsi beras bukan masalah temporer melainkan struktural. Sebagai makanan pokok (staple food), fenomena kenaikan harga beras tidak boleh dilihat sebagai masalah temporer. Ini sebuah sinyal problem struktural produksi dan konsumsi beras nasional. Bahkan ini bisa jadi bukti kesalahan visi pangan nasional karena menjadikan beras satu satunya bahan makanan pokok. Ini menurunkan ketahanan pangan kita. Pulau Jawa sebagai lumbung padi, kapasitas produksinya terus menurun karena terjadinya konversi lahan besar-besaran.
Kenaikan harga beras saat ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Harga beras di pasar internasional naik manjadi USD 20/CWT (50 kg). Kenaikan harga sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Artinya trennya memang naik sejak pandemi Covid-19. Kalau melihat statistik Badan Pangan Dunia (FAO), harga beras saat ini merupakan yang tertinggi selama 25 tahun terakhir kecuali dibanding saat terjadi krisis keuangan global (GFC) 2008. Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan pada Januari 2020 hanya 103 dan menjadi 156 pada Januari 2024 khususnya untuk varietas Indica.
Berita buruknya, harga beras ke depan akan terus naik. Mengutip lembaga Trading Economy, kenaikan harga beras global masih akan berlangsung terus mengingat harga kontrak berjangka atau future contract terus naik setiap hari. Seperti diketahui, harga kontrak berjangka adalah indikasi harga ke depan yang akurat. Ini konsekuensi dari menurunnya suplai dan permintaan yang terus naik di pasar global. India sebagai salah satu eksportir beras dunia telah menetapkan pajak 20 persen untuk menurunkan hasrat mengekspor beras demi mengamankan pasokan dalam negeri.
Apalagi, berdasarkan prediksi Badan Cuaca Amerika Serikat (U.S. National Weather Service) produksi beras dunia akan menurun karena Tiongkok, India, dan negara Asia Tenggara akan mengalami El Nina mulai April dan Juni 2024 di mana saat itu bersamaan dengan masa tanam padi. Keadaan diperpaprah oleh konsumsi beras yang terus naik. Data dari Kementerian Pertanian Amerika Serikat menunjukkan terjadinya kenaikan konsumsi beras sebanyak 800.000 ton beras dalam setahun terakhir ini sehingga secara total konsumsi beras dunia mencapai 523 juta ton.
Reformasi
Sebenarnya pemerintah sudah melakukan langkah yang benar. Berdasar data BPS, total impor beras tahun 2023 mencapai 3 juta ton lebih yang merupakan jumlah impor tertinggi. Ini selalu dilakukan pemerintah untuk memastikan keamanan pasokan apalagi menjelang pemilu dalam rangka menjaga persediaan dan harga beras.
Ke depan, pemerintah harus mendorong produksi beras dalam negeri. Pulau Jawa sudah tidak bisa lagi dijadikan lumbung padi. Proyek Food Estate harus dihidupkan dengan melihat sumber kegagalan proyek Food Estate demi membuat Indonesia memiliki kedaulatan pangan. Manajemen produksi pangan di Food Estate harus diubah dari sistem proyek ke sistem pasar terkendali.
Penataan distribusi atau tata niaga beras harus direformasi. Saat ini saluran distribusi beras sangat “gelap” sehingga pengawasan sulit dilakukan. Akibatnya operasi pasar selalu gagal. Penyediaan sarana produksi pertanian seperti pupuk harus tepat waktu. Pemerintah juga harus mengelola perberasan nasional lebih baik dan antisipatif. Utamakan produksi berapun biayanya. Sistem sentralisistik persediaan beras nasional khususnya produksi beras harus dibentuk dengan Unit Kerja Khusus di bawah Presiden agar bisa mengatasi problem lintas lembaga. Ingat, persedian beras yang cukup sama pentingya dengan keberadaan sistem pertahanan nasional yang andal. (*)
Penulis: Abdul Mongid, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya
Editor : Sofyan Hendra